Mahasiswa IPB Bleaching Rumput Laut dengan Bahan Ramah Lingkungan
Rumput laut merupakan salah satu komoditas utama perikanan yang telah menjadi andalan dalam industri pengolahan hasil laut. Jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomi dan peluang besar untuk dikembangkan adalah Euchema cottonii. Rumput laut jenis ini mengandung kappa-karaginan yang memiliki karakteristik gel kuat. Karaginan dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam industri pangan, farmasi, dan kosmetik.
Fikoeritrin merupakan pigmen yang dominan sehingga memberikan kenampakan warna merah pada E. cottonii. Senyawa lain yang terkandung dalam E. cottonii adalah selulosa yang menyebabkan warna pada rumput laut menjadi gelap. Kandungan selulosa yang tinggi dapat mempengaruhi tingkat warna pada rumput laut. Selulosa dan pigmen ini tidak dapat dipisahkan sehingga dapat menyebabkan karaginan yang dihasilkan berwarna keruh.
Pengolahan E. cottonii menjadi karaginan dilakukan melalui proses bleaching menggunakan hidrogen peroksida (H2O2). Penggunaan H2O2 ini memiliki kekurangan yaitu dapat meninggalkan residu. Semakin tinggi konsentrasi H2O2 maka semakin tinggi residu yang dihasilkan. Penggunaan bahan ini juga membutuhkan waktu yang lama dan jumlah yang banyak.
Berangkat dari hal itu, Theo Arthanugrah Saota, mahasiswa dari Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) mencoba untuk meneliti teknik yang mudah untuk proses bleaching rumput laut dalam rangka menghasilkan karaginan yang berkualitas tinggi.
Theo melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Suhu Bleaching dengan Peracetic Acid pada Semi-Refined Carrageenan. Penelitian ini di bawah bimbingan dari Dr. Uju dan Prof Dr. Santoso.
“Warna semi-refined carrageenan atau SRC yang putih adalah salah satu indikator kualitas mutu SRC yang lebih disukai konsumen. Namun, bleaching menggunakan H2O2 dapat meninggalkan residu pada SRC. Maka dari itu saya mencoba untuk meggunakan peracetic acid atau PAA sebagai bahan pemucat dan mengkaji bagaimana pengaruhnya terhadap karakteristik karaginan yang dihasilkan,” ungkap Theo.
Theo memilih PAA karena bahan ini merupakan bahan pemutih yang ramah lingkungan. Residu dari PAA akan terurai menjadi oksigen dan asam asetat yang biodegradable. Pada penelitiannya, prosesbleaching dilakukan pada suhu 30-80 derajat celcius selama 30 menit.
“Penggunaan PAA sebagai bahan bleaching dengan suhu yang berbeda meningkatkan derajat putih SRC, namun dapat menurunkan rendemen, kekuatan gel, dan viskositas. Perlakuan suhu bleachingdapat meningkatkan derajat putih SRC sampai 1,6 kali dari SRC tanpa bleaching,” ujarnya.
Bleaching dengan menggunakan suhu yang rendah mampu menghasilkan SRC dengan rendemen dan kekuatan gel yang tinggi dibandingkan penggunaan suhu tinggi. Derajat putih SRC tertinggi (66,52%) diperoleh dari perlakuan PAA 2% suhu 80 °C. Bleaching pada SRC menghasilkan viskositas 776,64-796,68 cP dengan nilai kekuatan gel yang dihasilkan berkisar antara 28,85-212,06 g/cm2.
“Penelitian ini memberikan informasi mengenai pengaruh penggunaan peracetic acid sebagai bahan bleaching rumput laut. Selanjutnya hasil ekstraksi SRC ini bisa digunakan untuk pengolahan limbah,” tambahnya. (NIRS/Zul)