Guru Besar IPB : Selain AI, Penyakit IBD juga Incar Unggas

Guru Besar IPB : Selain AI, Penyakit IBD juga Incar Unggas

guru-besar-ipb-selain-ai-penyakit-ibd-juga-incar-unggas-news
Riset

Avian Influenza (AI) merupakan penyakit yang mempunyai dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan. Penyakit AI memiliki tingkat kematian mortalitas yang tinggi pada unggas, bersifat zoonosis dan mampu tersebar dengan cepat. Selain AI, ternyata ada penyakit lain yang mampu menurunkan kekebalan tubuh, sehingga unggas menjadi rentan terhadap infeksi penyakit lain serta menyebabkan kegagalan vaksinasi. Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. drh. Agus Setiono, MS, PhD APVet dalam Orasi Ilmiahnya di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Kampus IPB Dramaga, Bogor (20/1).

“Penyakit tersebut adalah Infectious Bursal Disease (IBD). Diagnosis IBD dapat ditegakkan salah satunya dengan melihat perubahan patologi anatomi yang khas yaitu kerusakan pada bursa Fabricius (bursitis) serta radang otot (myositis). Pengendalian yang efektif terhadap IBD adalah dengan vaksinasi yang teratur disertai dengan program biosekuriti yang baik,” ujarnya.

Sejak tahun 2001, Prof. Agus telah mengembangkan pembuatan monoklonal antibodi IBD untuk mencegah infeksi virus IBD pada sel target. Antibodi ini bisa menghambat tempat perlekatan virus IBD yang ada dalam sel inang, sehingga virus tidak dapat menempel pada reseptor tersebut.

“Monoklonal antibodi IBD yang kami kembangkan berhasil memberikan perlindungan sebesar 51 persen terhadap kejadian IBD,” terangnya.

Selain IBD, ada juga penyakit Necrotic Enteritis (NE) yang disebabkan bakteri Clostridium perfringens tipe A. Penyakit ini bisa ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri menginfeksi usus dengan memproduksi alfa toksin yang menyebabkan kerusakan usus ayam, sehingga penyerapan zat nutrisi menjadi tidak efisien, menurunkan produktivitas bahkan kematian.

Sementara itu, penyakit AI telah mengakibatkan kematian pada manusia. Jumlahnya sekira 80 persen dari total kasus yang dilaporkan. Di Indonesia, tercatat 500 unggas teridentifikasi positif terinfeksi H5N1 dari periode 2010-2011. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, ada 10 ribu kasus serangan AI dan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

Prof. Agus kemudian mengembangkan obat herbal yang memanfaatkan kombinasi tanaman obat (sambiloto, sirih merah, adas dan temu ireng) untuk membantu kinerja vaksin AI. Kombinasi tanaman obat ini terbukti efektif memperkuat kerja vaksin AI untuk menstimulasi terbentuknya kekebalan pada unggas.

“Temuan ini telah mendapatkan apresiasi dari pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi RI pada program 104 Inovasi Indonesia yang prospektif untuk dikomersialisasikan. Temuan lain yang juga dapat penghargaan adalah poliklonal antibodi C.burnetii yang dikembangkan menjadi kandidat (prototype) alat deteksi cepat penyakit Q fever di lapangan secara akurat, praktis dan ekonomis. Q fever adalah penyakit yang disebabkan bakteri Coxiella burnetti, penyebab arbotus pada hewan-hewan dan penurunan kesehatan pada manusia,” terangnya.

Dari berbagai temuan tersebut, Prof. Agus mengatakan bahwa penelitian biomedis menunjukkan kontribusi yang kuat dalam memberikan informasi dasar pengembangan penelitian lanjutan dan sistem diagnostik penyakit pada hewan.(zul)