Dosen IPB Sulap Lahan Bekas Tambang Menjadi Lahan Produktif
Permasalahan lahan pascatambang di Indonesia cukup sulit diselesaikan. Lahan pascatambang dianggap lahan marginal yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun, jika semua orang hanya menyalahkan, maka lahan pascatambang akan banyak terbengkalai dan tidak termanfaatkan.
Dr. Ir. Irdika Mansur, MFor Sc adalah dosen Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB) yang konsen di bidang reklamasi lahan pascatambang. Berbagai penelitian tentang reklamasi di lahan pascatambang sering dilakukan pria kelahiran Manokwari ini. Pada tahun 1995, bersama dosen-dosen Departemen Manajemen Hutan Bagian Budi Daya Hutan (Departemen Silvikultur) Fahutan IPB, ia sudah mulai mengembangkan cara mengembalikan lahan pascatambang menjadi hijau kembali.
“Kala itu benih yang digunakan yaitu sengon dan akasia, karena tersebar melimpah. Kedua jenis benih ini memiliki rizobium dan mikoriza sehingga dapat beradaptasi di lahan tersebut,” ujar Dr Irdika yang juga Direktur SEAMEO Biotrop ini.
Selanjutnya, kisaran tahun 2000, ia mencoba mengintegrasikan jenis tanaman lokal unggulan yang notabene berdaur hidup panjang (seperti Meranti, Eboni, dan Kayu Besi) dengan jenis tanaman yang cepat tumbuh (seperti sengon dan akasia). Saat ini, terangnya, sudah menjadi Peraturan Menteri bahwa 40 persen tanaman yang ditanam di lahan pascatambang harus berasal dari jenis lokal unggulan.
Dr Irdika bertutur masyarakat sekitar lokasi pascatambang senantiasa dilibatkan dalam kegiatan rehabilitasi ini. Misalnya, mereka dilatih untuk mengumpulkan eboni dari hutan, dibibitkan kemudian dibeli oleh perusahaan.
“Sekarang reklamasi tambang untuk konservasi jenis lokal unggulan sudah mulai berjalan. Tentu kita berbicara perusahaan tambang yang legal,” imbuhnya.
Ia menambahkan, penghijauan lahan pascatambang saat ini sedang bertransformasi menjadi lebih produktif. Produktif yang dimaksud dalam arti ekologi, ekonomi, dan sosial. Awalnya tanaman penaung yang digunakan jenis akasia, kemudian ditemukan jenis yang memiliki karakteristik kemampuan hidup yang hampir sama dengan akasia yaitu jenis kayu putih. Kayu putih sudah dapat dipanen dalam waktu empat tahun. Produksi daunnya minimum 10 ton per hektar. Biasanya tanaman kayu putih ini dikombinasikan dengan kacang-kacangan. “Yang awalnya cost center menjadi profit,” ujarnya.
“Penelitian ini dilakukan tidak sendiri, tetapi bersama dengan mahasiswa bimbingan saya dalam waktu yang cukup lama. Karena untuk mendapatkan hasil maksimal dibutuhkan banyak penelitian yang saling berkaitan satu dan lainnya,” kata Dr Irdika yang menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kehutanan IPB; S2 di University of Canterbury, New Zealand; dan menamatkan S3 di University of Kent, England. (RJ/nm)