Peneliti IPB Sarankan Wilayah Sawah yang Harus Dilindungi
Indonesia saat ini masih memiliki masalah dalam penyediaan pangan, mengingat 95 persen pangan pokok penduduknya adalah beras, sehingga penyediaannya sangatlah penting. Untuk memenuhi kebutuhan sekira 250 juta penduduk, diperlukan paling tidak 28 juta ton beras per tahun yang harus disediakan, nilai tersebut termasuk yang tertinggi di dunia. Di lain pihak, Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sawah di Pulau Jawa. Hanya saja, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, sawah-sawah di Pulau Jawa saat ini mengalami tekanan dari penggunaan lahan lain seperti industri dan pemukiman. Untuk itu, pemerintah telah melahirkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan, antara lain untuk melindungi lahan sawah di Pulau Jawa.
Tim peneliti yang terdiri dari Widiatmaka dan Supiandi Sabiham dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB); Machfud dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB; Paulus B.K. Santoso dari Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian; Muhamad Hikmat dari Badan Litbang, Kementerian Pertanian; serta Wiwin Ambarwulan dari Badan Informasi Geospasial melakukan penelitian terkait model penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Pantura Jawa untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
“Jadi problemnya, kita perlu pangan banyak tetapi pangan beras, dan itu sebagian besar masih dihasilkan dari Pulau Jawa,” ujar Widiatmaka.
Dikatakannya, sekira 47 persen dari luas sawah di Indonesia, saat ini berada di pulau Jawa. Meskipun luas sawahnya 47 persen, tetapi dalam penyediaan pangan 53 persen beras berasal dari pulau Jawa. Pulau Jawa luasnya hanya 7% dari luas Indonesia. Jadi bisa dibayangkan, pulau yang luasnya hanya 7 persen ini menyediakan lebih dari 50 persen pangan beras bagi penduduk Indonesia. Luas yang 7 persen itu pun bersaing dengan pembangunan seperti jalan, rumah, kawasan industri, sehingga konversi lahan sawah tinggi sekali. Itulah makanya perlu ada lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilindungi.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan model penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dengan studi kasus di Kabupaten Subang, dalam konteks menjaga salah satu wilayah pantai utara Pulau Jawa sebagai wilayah penyedia pangan, agar tetap dapat memberikan sumbangan yang cukup bagi kedaulatan pangan nasional.
“Penelitian saya kira-kira, kalau mau melindungi itu kan harus memilih, mana yang mau dilindungi. Mestinya semua dilindungi, tetapi dalam melindungi kita juga memiliki keterbatasan, baik dana maupun kebutuhan lahan sektor lain, jadi harus dipilih yang prioritas dilindungi. Di beberapa daerah kita sudah mendeliniasi, ada kriteria-kriteria untuk prioritas, misalnya kesuburannya, kedekatan dengan saluran irigasi, kedekatan dengan pasar dan seterusnya. Jika ingin melindungi, petaninya harus diapakan, apakah misalnya diberi insentif tertentu, jika insentifnya berupa subsidi, apakah kita punya uangnya tidak. Hasil penelitian ini nanti outputnya adalah peta wilayah prioritas perlindungan yang bisa digunakan oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat,” paparnya.
Dalam skenario perlindungan lahan sawah yang dibangun, tim ini mengungkapkan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi wilayah pada tahun 2031 di Subang misalnya, maka minimal sawah yang harus dilindungi adalah 22.183 hektar. Jika diinginkan, wilayah Subang masih dapat mengekspor 50 persen produksi.
Para peneliti ini menyarankan minimal diperlukan 54.969 hektar sawah dilindungi. Upaya peningkatan produksi tersebut disusun dalam berbagai skenario peningkatan indeks pertanaman dan produktivitas. Kriteria kuantitatif-operasional yang dibangun dapat digunakan untuk delineasi lahan pertanian pangan berkelanjutan.(IR/NM)