Peneliti IPB Jawab Fenomena Padi Rebah yang Rugikan Petani
Rebah didefinisikan sebagai kondisi kecondongan permanen dari posisi tegak yang normal. Padi rebah pada saat periode pengisian biji merugikan petani. Kondisi ini dapat mengurangi bobot panen dan kualitas biji. Sejak lama diyakini fenomena padi rebah disebabkan batang yang lemah dalam menopang biji, akibat pemberian pupuk nitrogen (N) berlebihan. Namun fakta di lapangan menunjukkan walau pupuk N diberikan secara tepat, terpaan angin kencang dan curah hujan tinggi tetap menyebabkan padi rebah dan kehampaan. Walaupun kerugian produksi padi akibat cuaca ekstrim nyata terjadi, tetapi kajian tersebut masih belum banyak diteliti.
Hal inilah yang mendorong tim peneliti Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Faperta IPB), Edi Santosa, Herdhata Agusta, Dwi Guntoro dan Sofyan Zaman serta peneliti Jurusan Budidaya Tanaman Pangan, Politeknik Negeri Lampung, Dulbari melakukan sebuah penelitian terhadap fenomena rebah ini. Penelitian tersebut dilakukan pada bulan Februari-Maret 2016 di empat provinsi yakni Jawa Barat (Bogor dan Karawang), Lampung (Banra Lampung, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Mesuji), Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat, Tengah dan Timur, serta Sumbawa Barat, Bima), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Bantul, Kulon Progo, Wonogiri, Sleman.
Tujuan penelitian ini mitigasi kerugiaan tanaman padi, akibat angin kencang dan curah hujan tinggi. Tanaman rebah akibat cuaca ekstrim diamati dari aspek morfologi dan agroekologi tanaman. Varietas yang paling banyak ditanam petani adalah IR 64, IR 32, Ciherang, Muncul, Sintanur, Mekongga, Impari, dan Loka. Semua varietas yang ditanam petani mengalami kerebahan akibat angin kencang yang disertai hujan, Menurut pengakuan petani, mereka sudah menerapkan teknik budidaya sesuai dengan arahan dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) terkait penggunakan varietas, pemupukan, dan pemberantasan hama. Sementara pupuk nitrogen diberikan sesuai dosisi rekomendasi.
Cara tanam dan populasi tanaman ternyata tidak meningkatkan ketahanan terhadap rebah, walaupun ada kecenderungan jarak tanam ubin lebih rentan dari pada jajar legowo. Namun demikian, cara tanam ubin (20 x 20), jajar legowo 2, dan jajar legowo 4 tidak dapat mencegah dari rebah. Posisi rebah bersifat acak, ada yang di pinggir galengan dan di tengah hamparan. Keberadaan tanaman pemecah angin seperti jati, mahoni, kelapa dan sebagainya tidak mampu mencegah dari rebah. Ada kecenderungan, tanaman dekat pemecah angin, memiliki prevalensi rebah lebih tinggi.
Sebagian petani di Bantul-DIY yang memiliki sawah kurang 0,2 hektar mengurangi kerugian rebah (umur di bawah 75 hari) dengan cara mengikat empat rumpun padi menjadi satu agar tegak. Namun petani lain khususnya dengan luasan lahan lebih 0,5 hektar membiarkan tanaman rebah. Demikian yang dilakukan petani Bogor karena alasan tenaga kerja dan efektivitas, serta banyak tanaman yang rebah lebih dari satu kali. Arah dan derajat rebah ditentukan arah dan kekuatan angin serta curah hujan. Angin searah menghasilkan arah rebah yang sejajar dengan satu arah. Sedangkan angin puyuh (angin ribut) multi arah atau memutar.
Petani menduga kecepatan angin disertai hujan yang menyebabkan rebah sekitar 50-70 kilometer per jam. Angka tersebut dengan analogi kecepatan angin saat naik motor serupa dengan kecepatan angin tersebut. Angin ribut (typoon) yang menyebabkan tanaman padi rebah adalah kecepatan angin 31,6 meter per detik (113,76 kilometer per jam) disertai curah hujan 21 milimeter per jam. BMKG (2010) mendefinisikan hujan lebat adalah intensitas lebih dari 20 milimeter per jam dan hujan ekstrim adalah 40 milimeter per jam. Akan tetapi kecepatan berapa yang menyebabkan rebah, perlu diteliti lebih lanjut.
Semakin kuat angin, tanaman selain rebah juga patah. Angin ‘mengontang-antingkan’ malai padi yang berat karena bulir gabah telah berisi ke segala arah sehingga patah. Posisi patah bisa dimana saja termasuk dekat tangkai malai. Tinggi patah bervariasi antara 1 centimeter hingga 22 centimeterm. Sebanyak 75 persen tanaman patah pada 0-9 centimeter di atas permukaan tanah, 15 persen pada ketinggian 10-19 centimeter, 7 persen sekitar 20-29 centimeter dan sisanya 3 persen pada ketinggian 30 centimeter atau lebih. Bagian patah adalah ruas buku (internode) jerami, sebagai bagian yang lemah. Patah pada leher malai oleh angin biasanya karena tanaman juga telah terserang penyakit blast (Pyricularia orizae).
Rebah mulai terjadi pada umur 65 hari pada IR 64 di Sendangsari Kab Kulon Progo. Di daerah lain, rebah terjadi pada 70 – 85 hari setelah tanam. Rebah pada umur lebih dari 85 hari atau menjelang panen menurut petani dianggap tidak merugikan. Namun petani di Desa Sungai Buaya, Kab Mesuji-Lampung, varietas IR 64 dan Ciherang yang rebah menjelang panen menurunkan panen hingga 10 -20 persen. Alasannya, sawah mereka tergenang 10 – 12 centimeter walaupun sudah mendekati panen, berbeda dengan sawah petani umumnya yang kering. Kondisi ini mendorong petani cenderung mempercepat panen walaupun pengisian gabah belum sempurna.
Seluruh petani responden di NTB, Lampung dan DIY menyatakan bahwa kerugian produksi terbesar terjadi jika rebah pada umur padi kurang dari 75 hari atau masa awal pengisian biji. Pengisian biji terganggu yakni hampa tinggi, butir mengapur meningkat, bulir beras mengecil (tidak gemuk), dan bobot panen berkurang 50-60 persen. Kerugian semakin besar jika kondisi sawah penuh dengan air. Gabah terendam memiliki kadar air di atas 35-40 persen sehingga bulir gabah berwarna hitam atau berlumpur, dan bulir beras cepat menguning jika terlambat dikeringkan.
Kerugian akibat cuaca ekstrim nyata terjadi di lapangan dan merata di semua sentra produksi. Untuk luas areal terdampak sekitar 3-5 persen dari luas panen, kerebahan tidak disebabkan pemberian N berlebihan tetapi oleh kombinasi angin kencang dan curah hujan tinggi. Kerugian panen tergantung pada umur tanaman saat rebah. Secara teoritis, rebah terjadi karena rumpun padi secara aerodinamis menjadi penghalang laju angin. Tanaman dengan aerodinamis rendah mudah rebah karena massa angin yang ditahan lebih besar. Ditambah dengan massa air hujan, maka tekanan terhadap batang padi semakin besar.
Maka seleksi varietas berdasarkan aerodinamis penting dilakukan. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi aerodinamis padi antara lain jumlah anakan, jumlah, panjang dan lebar daun, tinggi tanaman, panjang dan jumlah malai, serta jumlah bulir padi. Aerodinamis tanaman diarahkan agar sudut rebah kurang 90 derajat agar kehilangan hasil dapat minimal. Varietas untuk perakitan padi beraerodinamis cukup tersedia contohnya varietas tinggi tinggi sekitar 115 centimeter tahan rebah adalah IR-48, Cilamaya Muncul, Way Seputih dan Cibodas, sedangkan varietas pendek sekitar 90 centimeter yaitu IR-36, IR-70 dan Citanduy. (IRM/ris)