Pakar Ekonomi Pertanian IPB Tanggapi Kisruh Beras Premium

Pakar Ekonomi Pertanian IPB Tanggapi Kisruh Beras Premium

pakar-ekonomi-pertanian-ipb-tanggapi-kisruh-beras-premium-news
Riset

Kasus penggerebekan sebuah pabrik beras di Bekasi, mendapat tanggapan pakar ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr M Firdaus. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB ini  mengatakan,  "Duduk persoalan kisruh beras premium jika dilihat dari sisi pemerintah adalah adanya keinginan dari pemerintah supaya harga beras tidak mahal di tingkat konsumen. Kita tahu bahwa penyumbang inflasi terbesar itu masih beras."

Lebih lanjut Wakil Dekan FEM IPB ini mengatkan, persoalan jadi menarik kalau lihat dari sisi ekonomi dan bisnis yakni adanya perdagangan beras yang dibisniskan. Tentu bisnis tujuannya adalah mencari untung. Salah satunya dengan melakukan pengolahan, misalnya beli beras dari petani kemudian diolah dan dijual ke supermarket hingga sampailah beras ke konsumen. 

Dikatakannya, pedagang membeli beras dengan harga yang lebih mahal dari harga yang diberikan oleh pemerintah melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Mereka kemudian melakukan pengolahan dan menjualnya kembali dengan harga yang relatif sangat tinggi yakni dengan nama beras premium.

Menurutnya, pemerintah menilai pedagang membeli produk dari petani yang disubsidi oleh pemerintah (subsidi pemerintah sebesar 30 trilyun per tahun), sehingga seakan-akan pengusaha atau pedagang melakukan tindakan atau mengambil keuntungan di luar kewajaran. Seharusnya pedagang menjual produknya tidak terlalu mahal sesuai keinginan  pemerintah. 

“Pemerintah mempertanyakan apakah harus sebesar itu keuntungan pedagang (dengan hitung-hitungannya pemerintah). Beli beras kemudian ditreatment (sederhana) lalu dijualnya mahal. Ini kan pokok persoalannya,” ujarnya saat memberikan keterangannya di depan awak media di Kampus IPB Dramaga, Senin (24/7). Menanggapi kisruh beras premium ini, Prof. Firdaus menjelaskan secara rinci kondisi di lapangan saat ini tentang proses perdagangan beras.

Prof. Firdaus menyoroti Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 9.500. Menurutnya, angka ini mustahil diterapkan karena kita lihat kalau harga pembelian dari produsen itu minimun Rp 7.000-an, maka tidak mungkin beras premium sampai di konsumen melalui supermarket dengan harga Rp 9.000-an.

“Hitung-hitungan untuk kembali pokok, harga itu harus Rp 12 ribuan. Kalau pedagang atau supermarket mau ambil untung itu minimum Rp 15 ribuan. Pedagang beli di petani beras sebesar Rp 7.500, lalu ada proses pengangkutan ke gudang, kemudian diolah, mungkin semacam pembersihan,” ujarnya.

Dikatakannya, pengolahan pada beras tidak banyak, karena tidak mengalami perubahan fisik. “Ya paling pencampuran, pengemasan dan packaging. Hanya itu. Biaya pengangkutan hingga pengemasan itu tidak mungkin hanya Rp 2 ribuan. Kalau untuk beras yang levelnya premium apalagi belinya di supermarket ada yang namanya listing fee 30 persen. Maka harga beli di produsen dan supermarket itu mengalami kenaikan dua kali lipat. Biasanya 30 persen biaya, untungnya 70 persen dibagi dua untuk supermarket dan distributor. Nah kalau Rp 7 ribu ke Rp 9 ribu, apakah itu mungkin? Selain itu, kalau ini kita terapkan ke beras, karena mendapatkan subsidi dari pemerintah, lalu bagaimana dengan produk yang lain? Logikanya nya begitu. Apakah kalkulasi HET itu sudah benar apa belum. HET untuk beras medium masih oke, tapi kalau beras premium tidak mungkin,” terangnya.

Prof. Firdaus juga memaparkan tentang riset yang sudah dilakukannya sejak tahun 1998 tentang karakteristik beras di 22 pasar eceran di Jakarta (hingga pasar induk Cipinang). Beras pandan wangi yang dijual di pasar sebetulnya bukan beras pandan wangi 100 persen, tetapi hanya 40 persen. Risetnya di Cianjur juga mengungkapkan bahwa semua penggilingan tidak ada yang menjual beras padan wangi 100 persen, karena harganya bisa mencapai Rp 40 ribu per kilogram.

“Tidak mungkin harga beras pandan wangi Rp 15-20 ribu. Itu mungkin kandungan beras pandan wanginya sekitar 20-30 persen. Sisanya mungkin beras Ciherang, karena paling mirip. Tanya pedagang di sana (Pasar Induk Cipinang) itu yang terjadi,” ujarnya. 

Menurutnya, ini bukan sebuah kebohongan, karena beras tidak mengalami perubahan bentuk. Contohnya bubuk kopi. Saat dijual eceran oleh petani harganya mungkin hanya Rp 3 ribu per kilogram, tapi saat sudah dijual di Starbuck harganya naik tajam. Apakah bentuk kopinya beda? Apakah ada pembohongan, kan tidak. Konsumen beras pun sama. Konsumen hanya perlu jaminan keamanan produk. Mereka mau beli dengan harga mahal karena ada persepsi bahwa beras itu tidak dicampur beras plastik, tidak menggunakan pemutih dan bahan kimia lainnya. Ini makanya konsumen mau membayar mahal. 

“Beras premium menggunakan kemasan yang bagus dan ada semacam jaminan tidak lagsung. Apakah ini pembohongan kepada konsumen. Kalau menurut saya ini bukan pembohongan. Konsumen membayar kualitas, baik fisik maupun karena jaminan informasi. Diolah dengan baik, tidak pecah, tidak pakai pemutih dan dikemas dengan baik. Ya jadilah dia beras premium,” terangnya.

Lalu apakah petani padi itu sudah sejahtera. Pemerintah berasumsi sudah memberikan subsidi ke petani padahal efektifitas subsidi tersebut dipertanyakan. Dari berbagai riset tentang keefektifan subsidi, hasil penelitian Prof. Firdaus dengan bank dunia adalah dana subsidi yang sampai ke petani itu hanya 40 persen. 

Apakah tidak ada cara lain untuk sejahterakan petani? Ada. Pengalaman di Thailand dan Vietnam, mereka tidak melakukan subsidi input tetapi subsidi harga. Kalau petani di kita ingin targetnya petani sejahtera, mereka tidak bisa jual beras dengan harga Rp 3.700, tapi dengan harga Rp 5.000. Namun, kalau petani jual di harga Rp 5.000-an, maka harga beras medium di pasaran tidak bisa Rp 9.500. Maka kalau kita tetap beli di petani Rp 3.700, supaya harga beras medium di pasar Rp 9.000, maka petani disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp 1.300 (subsidi output). 

“Maka di Thailand harga berasnya bisa mencapai Rp 6 ribuan untuk beras medium, beras premiumnya Rp 10 ribuan. Kita lebih banyak main di subsidi input (30 trilyun per tahun) untuk subsidi pupuk yang efektifitasnya bisa jadi tidak tinggi. Ini yang ke depan harus dipikirkan,” ujarnya. 

Dari sisi ekonomi, pemerintah tidak lagi menerapkan harga dasar tetapi menggunakan HPP. Harga dasar itu kalau petani panen raya, pemerintah wajib membeli dengan harga dasar sehingga harga di petani terjamin atau tidak turun dan fungsi Bulog signifikan. Sementara HPP adalah acuan bahwa pembelian gabah di petani harus di atas HPP, pemerintah tidak ada kewajiban untuk membeli. 

“Ini yang harus didorong peran Bulog. Bulog harus dioptimalkan dan diberi keleluasaan. Undang-undang atau konsep tentang Badan Pangan Nasional (BPN) yang saat ini ada di meja Presiden harus segera disahkan. Badan pangan yang levelnya bisa mengkoordinir sampai ke level kementerian,” tambahnya. 

“Selain itu, pemerintah seharusnya diskusi dulu di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Bagaimana Kemendag menyikapinya. Tidak adil jika berlaku hanya untuk beras. Subsidi sebesar 30 trilyun itu untuk hortikultura, sapi, kentang bahkan cabai. Apakah semua harus diperlakukan sama? Pemerintah harus konsisten dong. Benar atau tidak pedagang mengambil untung, yang tidak wajar ya harus dibuktikan di pengadilan KKPU,” tandasnya.

Solusinya adalah jika pemerintah konsisten ingin sejahterakan petani maka pertimbangkan kembali mekanisme subsidi, efektifitasnya, cara atau metodenya. Kedua, pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan HPP.

“HPP itu tidak ada konsekuensi apa-apa ke petani. Harus kembali ke harga dasar dan harga atap. Ketiga, kita tahu bahwa dengan kondisi petani yang skalanya kecil-kecil kemudian menanam padi, sekarang korbannya banyak sekali, maka fungsi lembaga tetap harus ada, apakah BPN ataukah Bulog. Harus maksimal. Kalau Bulog maka harus diberi keleluasan dan kewenangan,” katanya. (zul)