Konsumsi Biskuit Saredang untuk Perbaikan Gizi Bayi di Indonesia
Usia 0-24 bulan merupakan usia yang sangat menentukan kualitas anak di kemudian hari. Perkembangan jaringan otak terbesar terjadi pada usia tersebut. Sehingga sangatlah penting untuk memperhatikan kecukupan gizi anak pada masa tersebut agar perkembangan jaringan otak dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Menurut hasil riset, Gunawan et al. (2011) kekurangn gizi di usia tersebut akan menyebabkan berkurangnya sel otak sekitar 15-20% dan perkembangan otak akan melambat setelah anak berusia 3 tahun.
Sementara itu, menurut Black et al. (2008) prevalensi stunting anak balita Indonesia (37%) lebih tinggi dibandingkan persentase prevalensi rata-rata stunting di dunia (26%). Stunting merupakan masalah kurang gizi yang disebabkan asupan gizi yang kurang dalam waktu lama akibat pemberian makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Upaya penurunan prevalensi stunting balita harus menjadi perhatian mengingat berharganya masa pertumbuhan bayi khususnya di usia 0-24 bulan agar menjadi generasi berkualitas di masa depan.
Ketika bayi berusia 0-6 bulan, ASI masih dapat mencukupi 100% kebutuhan nutrisi bayi. Namun setelah 6 bulan, kebutuhan nutrisi bayi terus meningkat sehingga hanya mampu mencukupi 60-70% kebutuhan bayi. Oleh karena itu, di usia 6-24 bulan MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) yang berkualitas sudah harus diberikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan perkembangannya.
Melihat permasalahan dan peluang tersebut, Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Institut Pertanian Bogor membuat Biskuit Saredang. Ismail Shaleh, Diah Dwi Putri, Diyah Puji Astuti, Romadhony Ardiansyah dan Agus Pratama Damanik merupakan anggota yang tergabung dalam PKM ini.
PKM berjudul “Biskuit Saredang (Sagu, Red Palm Oil, dan dangke) ini merupakan inovasi MP-ASI berbahan pangan lokal untuk perbaikan gizi bayi di Indonesia. Mereka mencoba memberikan solusi untuk pemenuhan nutrisi bayi pada usia 6-24 bulan dan mampu meningkatkan perkembangan sel otak.
“Produk yang kami buat menggunakan bahan pangan lokal sebagai bahan baku utama menggantikan 100% tepung terigu (bahan impor), dapat dibuat sendiri di rumah, dan memiliki kandungan gizi yang relatif lebih tinggi,” ujar Ismali.
Produk yang dibuat mengandung vitamin A (setara kapsul biru vitamin A), vitamin E (berasal dari minyak sawit), karbohidrat (amilopektin sagu) dan protein (dengan bantuan enzim papain saat proses pembuatan keju dangke) yang lebih mudah dicerna
Selain memperbaiki status gizi bayi di Indonesia, inovasi ini juga memanfaatkan potensi pangan lokal di Indonesia. Mereka memanfaatkan bahan dasar lokal seperti sagu, red palm oil (minyak sawit merah) dan dangke dalam pembuatan biskuit saredang. “Kami terus mengembangkan produk ini hingga diperoleh hasil terbaik dan harapannya bisa menjadi salah satu program yang mampu membawa dan membanggakan nama IPB di kancah PIMNAS ke-30,” ujar Ismail.(AT/Zul)