Catatan Kecil Feryan Fernanda, Mahasiswa Berprestasi IPB

Catatan Kecil Feryan Fernanda, Mahasiswa Berprestasi IPB

catatan-kecil-feryan-fernanda-mahasiswa-berprestasi-ipb-news
Prestasi

Feryan Fernanda, adalah Mahasiswa Berprestasi (Mapres) Institut Pertanian Bogor (IPB) dari Fakultas Pertanian. Pengalaman mengikuti seleksi Mapres di IPB ditorehkan Feryan dalam catatan kecil berikut :

Sejujurnya saya tidak pernah bermimpi untuk berada dimana saya hari ini. Saya lahir dan besar di desa zona merah dari konflik separatis Aceh tahun 1979-2005. Bukanlah hal yang mudah. Penemuan mayat dan korban sipil adalah pemandangan sehari-hari saat kecil. Anggota keluarga yang hilang diculik adalah berita sehari-hari kami. Suara kontak senjata adalah lagu pengantar tidur di setiap malam kami, sehingga kami tidak punya waktu untuk membangun, apalagi untuk kuliah. Kami inginkan selama bertahun-tahun adalah berhentinya warga sipil yang harus membayar dengan nyawa untuk dosa yang tidak mereka lakukan. Ekonomi terpuruk, pendidikan nyaris tidak ada. 

Desa asal saya saat itu mungkin tidak memiliki lebih dari 10 jenis pekerjaan warganya. Semua masih di sekitar pertanian; sawah, ladang dan kebun. Sehingga sejak kecil saya sangat akrab dengan dunia pertanian dan selalu menjadi arah saya untuk mengabdi. Hingga satu hari desa kami kedatangan seorang penyuluh pertanian asal Jawa. Ia mengenalkan kami pada teknologi mutakhir dari budidaya pertanian yang dapat digunakan petani. Sejak itu kami mengenal mulsa plastik, benih hibrida, dan lain-lain. Ia adalah sarjana dari IPB.

Sejak itu, di saat teman-teman saya sangat terobsesi menjadi prajurit medan perang dan berjuang untuk daerahnya, saya justru ingin dengan bangga menyampaikan pada mereka bahwa saya ingin melanjutkan pendidikan hingga IPB. Sejak dini, ibu saya melawan arus masyarakat desa, bahwa membangun Aceh bukan dengan senjata. Namun dengan pengetahuan dan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas untuk membawa masyarakat ini sejajar dan sedamai masyarakat di Jawa. Saya tidak akan pernah lupa pesannya, "Dengan pendidikanlah Kamu bisa merubah keadaan kita saat ini. Apapun yang terjadi, Kamu harus tetap sekolah".

Saya terus memegang pesan ibu saya. Dengan segala kekurangan keluarga, saya tetap melanjutkan sekolah. Hingga pada akhir sekolah menengah, keadaan kembali menantang saya. "Mama tidak punya apa-apa untuk kuliahkan Kamu, Nak. Kalau Kamu bisa, ke ujung dunia manapun mama akan selalu dukung Kamu". Saya berjuang untuk bisa mewujudkan mimpi saya menjadi seorang sarjana pertanian. Allah mengirimkan untuk saya, Sekretaris IPB, Dr. Ibnul Qayim, dan memberikan saya 'courage' melalui tangannya. Dan lagi, Allah tidak akan membiarkan hasil mengkhianati usaha. Atas inspirasi dan 'courage' itu, Allah akhirnya menghantarkan saya ke bumi kampus IPB untuk pertama kalinya pada 26 Juni 2014. Saya adalah alumni SMA Negeri 1 Langsa, Aceh Timur.

Saya sangat bersyukur pada Allah SWT bahwa pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memahami kondisi putera-puteri daerah seperti saya dan mengadakan jalur khusus bagi kami yang belum cukup terbangun, yaitu Afirmasi 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) sebagai jalan saya untuk berikhtiar.

Malam ini (8/4), saya membuktikan diri di depan rektor dan pimpinan IPB lainnya, para pimpinan organisasi kemahasiswaan, serta calon mahasiswa berprestasi IPB yang ber-IP 4,00, bahwa Ditjen Dikti tidak pernah sia-sia telah melahirkan program tersebut. Meski tidak keluar sebagai juara utama, Alhamdulillah saya mendapatkan Honorable Mention yang disampaikan langsung oleh perwakilan Dewan Juri, yaitu Prof. M. Firdaus. Malam ini adalah pencapaian terbesar yang pernah saya raih di hidup saya dengan bersanding bersama mahasiswa IPB yang luar biasa. Saya sudah membuktikan bahwa Afirmasi Dikti adalah program yang tepat untuk mencari mutiara-mutiara bangsa. Direktur Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU) IPB, Dr. Bonny P. W. Soekarno, pernah berkata bahwa kami ini sebenarnya adalah mutiara-mutiara bangsa yang begitu berkilau. Hanya saja terbenam dalam pasir perjalanan bangsa. Kami membutuhkan asahan. Saya sudah membuktikan bahwa tangan IPB bisa mengasah mutiara berpasir itu dan layak ditempatkan pada etalase emas milik IPB.

Saya percaya masih ada ratusan, ribuan, jutaan mutiara bangsa lainnya yang terpendam di pelosok negeri. Cepat atau lambat mereka akan muncul dan menyinari nusantara dengan kebanggaan mereka dan semangat mereka untuk membangun negeri. Allah SWT adalah saksinya. Menjadi tanggung jawab kita semua untuk bahu-membahu membantu mewujudkan mimpi mereka untuk membangun Indonesia dari pagar negeri.

Malam ini meskipun tidak keluar sebagai juara utama, saya pulang dengan terhormat membawa rasa syukur pada Allah dan rasa bangga saya pada daerah saya.

Ucapan terima kasih saya kepada Rektor IPB, Wakil Rektor, seluruh jajaran pimpinan IPB, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, Ketua BEM KM IPB, ketua DPM KM IPB, Sekjen MPMKM IPB, Ketua BEM Fakultas Pertanian, Ketua Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura IPB, dan Ketua Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong IPB beserta seluruh jajarannya. Terima kasih yang spesial untuk Dr. Eny Widajati yang sudah mendukung saya sejak awal, Dr. Ni Made Armini Wiendi selaku pembimbing saya pada seleksi ini, Dewan Juri seleksi tingkat departemen, fakultas, dan IPB, serta teman-teman seperjuangan Azalea (AGH'51) yang menjadi lingkungan dimana saya dapat berjuang. 

Kepada seluruh teman-teman Mawapres IPB 2017, terima kasih atas semua kenangan bersama. Pada Pak Ujang, Mas Ari, Mba Gesty, Mba Dewi, dan Mas Insan yang banyak membantu di belakang layar, serta pastinya Direktorat Kemahasiswaan IPB. Terima kasih juga pada sahabat saya, Jefry dan Bambang, sudah menjadi teman hidup yang luar biasa. Terima kasih juga saya ucapkan pada ibu saya, adik-adik saya Putri, Oca, Gibran, dan ayah saya. Terima kasih. Saya minta maaf pada kalian semua bila belum bisa menjadi apa yang kalian harapkan.

Kepada saudaraku, Ado dan Wildan, pada kalianlah saya titipkan rasa bangga ini terhadap almamater kita. Sesuai lirik hymne-nya, kampus ini adalah pengemban cita suci. Saya adalah contoh betapa tulusnya IPB mengasah mutiara-mutiara itu. Bawalah IPB menjadi juara utama. IPB, digdaya!***