Guru Besar IPB: Butuh Data yang Akurat dan Realtime untuk Ketahanan Pangan
Dalam rangka memperingati Hari Pangan sedunia, yang diperingati tiap tanggal 16 Oktober, tiga Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) memberikan sumbangsih pemikirannya dengan menggelar jumpa pers bersama di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Minggu (16/10). Salah satu Guru Besar yang memaparkan pemikirannya adalah Prof. Dr. Yonny Koesmaryono.
Prof. Yonny menjelaskan pentingnya data yang akurat dan realtime untuk ketahanan pangan dalam menghadapi fenomena perubahan iklim. Perubahan iklim ini sudah nyata kita rasakan sendiri dengan makin seringnya terjadi bencana banjir dan longsor, kekeringan panjang. Sistem produksi pangan pun ikut berubah. Antisipasinya adalah dengan melakukan tindakan mitigasi untuk pengurangan konsentrasi gas-gas rumah kaca dan berbagai upaya adaptasi.
“Food defend", salah satu konsep pendekatan baru yang lebih daripada "food security", dimana kita harus melakukan "pertahanan pangan" agar pangan kita bukan saja cukup tetapi juga aman dan mudah diakses sesuai kebutuhan. Jangan sampai kita diserbu pasokan pangan dari luar (impor) yang bisa mengakibatkan sistem produksi pangan kita goyah, ujarnya.
Memang masih ada beda pendapat atau perdebatan saintifik tentang terjadinya fenomena perubahan iklim. Tapi pada kenyataannya, kita sedang mengalami kondisi cuaca ekstrim seperti banjir dan kemarau panjang yang semakin sering terjadi. “Kondisi ini tentu akan menghambat upaya peningkatan produktivitas dan produksi lahan, dan tanaman atau ternak,” tambahnya.
Menurutnya, Indonesia seharusnya sudah bisa keluar dari jebakan konsumsi beras. Pagi, siang dan malam makan nasi (beras). Kalau bisa keluar dari jebakan ini (dengan memanfaatkan pangan lokal), maka ketahanan pangan tidak tergantung dari produktivitas padi (yang sering terganggu oleh banjir dan kemarau panjang yang dipicu oleh perubahan iklim).
Beberapa riset melaporkan juga terjadinya dampak perubahan iklim ikutan, seperti meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman maupun penyakit pada hewan ternak. Namun, hingga saat ini belum tersedia data yang akurat dan realtime (pengambilan data bisa setiap saat) tentang produktivitas dan produksi pangan dengan adanya perubahan iklim, utamanya di wilayah yang rawan bencana iklim.
“Kita butuh data yang di-record terus-menerus. Dengan demikian kita bisa mengunduh data-data tersebut dengan mudah. Berapa luas lahan yang ditanam dalam satu musim tanam. Berapa jenis varietas yang ditanam. Bagaimana luas serangan hama dan penyakit tanaman? Kelangkaan data seperti ini mengakibatkan tidak kompatibel dalam analisis terhadap data iklim. Jadi secara umum data itu penting. Implikasinya bisa luas termasuk pada kebijakan impor atau tidaknya kita saat menghadapi lebaran atau bencana. Yang terjadi sekarang, data analisis statistiknya belum keluar, terus diputuskan harus impor. Saat lebaran juga harus impor. Ini karena pasokan datanya belum bisa realtime dan terpercaya,” tandasnya.(zul)