Guru Besar IPB : Air Laut Naik Satu Meter, 120 Hektar Lahan Pertanian Hilang

Guru Besar IPB : Air Laut Naik Satu Meter, 120 Hektar Lahan Pertanian Hilang

guru-besar-ipb-air-laut-naik-satu-meter-120-hektar-lahan-pertanian-hilang-news
Riset

Dalam rangka memperingati Hari Pangan sedunia, yang diperingati tiap tanggal 16 Oktober, tiga Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) memberikan sumbangsih pemikirannya dengan menggelar jumpa pers bersama di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Minggu (16/10). Salah satu Guru Besar yang memaparkan pemikirannya adalah Prof.Dr. Rizaldi Boer.

Frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim akan meningkat dan diperkirakan frekuensi gagal panen akan makin sering terjadi. Frekuensi kekeringan yang masif sebelum tahun 1960-an hanya sekali dalam 4-5 tahun dan setelah 1960-an sekali dalam tiga tahun. Kegagalan panen padi akibat kekeringan bisa mencapai lebih dari 300 ribu hektar.

“Persoalan lainnya adalah hilangnya lahan pertanian yang ada di kawasan pesisir akibat kenaikan tinggi muka air laut dan juga masalah salinitas. Kenaikan air laut satu meter diperkirakan akan menenggelamkan sekitar 120,446 hektar lahan pertanian. Fenomena ini sudah terjadi di Bengkalis, wilayah Pantura dan lainnya. Petani yang ada pada wilayah seperti ini umumnya sudah mengkonversi sawahnya menjadi penambangan garam dan tambak karena sulit untuk mendapatkan hasil padi yang tinggi,” ujarnya.

Pengaruh kenaikan suhu global akibat perubahan iklim juga menurunkan produktivitas tanaman, belum lagi masalah konversi lahan. Dengan asumsi perubahan fungsi lahan 30 ribu hektar per tahun, maka kemampuan Pulau Jawa memproduksi pada tahun 2025 akan berkurang sekitar lima juta ton dibandingkan dengan tingkat produksi sekarang dan pada tahun 2050 sekitar 10 juta ton.

“Kehilangan ini belum mempertimbangkan kehilangan hasil akibat kejadian iklim ekstrim dan dampak kenaikan muka air laut,” terangnya.

Maka untuk mencapai sistem pertanian pangan yang tangguh iklim, diperlukan berbagai upaya perbaikan (struktural maupun non struktural). Penyerapan teknologi cerdas iklim berdaya hasil tinggi oleh petani perlu dipercepat.

“Salah satu strategi yang digagas IPB adalah mengembangkan sistem asuransi yang disebut ‘index asuransi iklim’ hasil kerjasama dengan beberapa pihak. Dengan asuransi ini petani berani mencoba teknologi, karena kalau gagal panen akibat bencana iklim mereka mendapatkan pembayaran dari pihak asuransi. Dan kalau kondisi iklim baik, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi karena menggunakan teknologi budidaya yang lebih baik,” ujarnya.

Asuransi indek iklim ialah sistem asuransi dimana klaim pembayaran asuransi didasarkan pada indek iklim bukan kegagalan panen. Namun demikian indek iklim ditentukan berdasarkan hubungan kegagalan panen dengan kondisi iklim.  Apabila dari pengalaman historis tanaman biasanya gagal panen kalau selama musim tanam hujan yang diterima kurang dari 150 mm, maka nilai 150 mm dijadikan indek iklim. Artinya manakala hujan selama musim tanam yang diterima kurang dari 150 mm maka otomatis petani peserta asuransi indek akan mendapatkan pembayaran, terlepas apakah tanaman mati atau tidak mati. Apabila teknik budidaya baru yang digunakan tahan terhadap kekeringan, atau tanaman masih bertahan walaupun hujan kurang dari 150 mm, maka petani peserta tetap akan menerima pembayaran.  Selain itu juga akan dapat penghasilan dari tanaman karena masih bisa bertahan.  Dalam asuransi konvensional, pembayaran tidak akan ada karena tanaman masih hidup. 

Diharapkan program ini dapat mendorong petani lebih berani mencoba teknologi baru berdaya hasil lebih tinggi untuk memanfaatkan tahun dengan kondisi iklim baik dan kalau iklim tidak menguntungkan petani tetap mendapatkan pemasukan dari asuransi iklim.  Kelebihan keuntungan yang diperoleh pada tahun baik karena telah menggunakan teknologi budidaya yang lebih baik bisa melebihi nilai premi. Kendala petani untuk berani mencoba suatu teknologi baru ialah keterbatasan dana dan penguasaan teknologi masih kurang. 

Oleh karena itu pelaksanaan program asuransi indek iklim yang efektif harus diintegrasikan dengan program dukungan pendanaan mikro dan teknologi yang disertai pendampingan.  IPB bersama dengan asuransi central asia (ACA) dan syngenta foundation dan beberapa lembaga pendanan mikro serta badan penyuluh pertanian sedang melakukan pilot pengembangan asuransi indek iklim di Indramayu yaitu di Tukdana dan Kroya untuk sut padi.  Program ini diharapkan akan menjadi salah satu terobosan baru untuk meningkatkan daya tahan petani terhadap risiko iklim yang semakin meningkat.***(zul)