Guru Besar IPB: Tingkat Kerawanan Pangan Indonesia Masih Tinggi
Saat ini di dunia terdapat sekitar 795 juta orang yang kelaparan atau 1 diantara 9 orang. Setiap harinya sekira 16 ribu anak meninggal atau satu orang anak meninggal setiap 10 detik. Sebagian besar meninggal akibat kelaparan dan banyak terjadi di negara berkembang. Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof.Dr. Ikeu Tanziha saat jumpa pers Pra Orasi Ilmiah, di Kampus IPB Baranangsiang Bogor, Kamis (28/7).
Dikatakannya, kelaparan dianggap mempunyai konotasi negatif dibanding pada kejadian gizi buruk. Padahal kelaparan sudah terjadi sebelum gizi kurang terjadi. Artinya gizi kurang tidak akan terjadi kalau tidak mengalami kelaparan sebelumnya. Banyaknya balita stunting mengindikasikan balita menderita kelaparan dalam jangka waktu lama. IQ anak yang menderita gizi buruk lebih rendah 8-18 poin dibandingkan dengan anak normal.
Menurutnya, hingga tahun 2015 telah terjadi penurunan tingkat kemiskinan, namun penurunan tersebut tidak diiringi dengan penurunan tingkat kelaparan pangan dan kerawanan pangan. Target Indonesia adalah mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya pada tahun 2015. Namun dari hasil evaluasi Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, Indonesia belum berhasil menyelesaikan targetnya. Targetnya bisa dilihat dari indikator persentase balita kurang gizi dan persentase penduduk dengan asupan kalori <1400 kkal/kapita/hr adalah masing-masing 15.5% dan 8.5%. Pemerintah Indonesia baru dapat menurunkan hingga masing-masing 19.6% dan 18.7%.
“Tingkat kerawanan pangan Indonesia masih tinggi. Ada 46.39 juta jiwa mengalami rawan pangan berat. Selama 2008-2013 bahkan terjadi peningkatan persentase penduduk sangat rawan dari 11,07 persen tahun 2008 menjadi 19,04 persen tahun 2013,” ujarnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan pencapaian target penurunan kelaparan pangan dan kerawanan pangan adalah: pertama, kurang berjalannya kelembagaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), pemerintah sering terlambat dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya ancaman terhadap penurunan persediaan pangan masyarakat. Kedua, terjadi perubahan pola konsumsi pangan pokok yang luar biasa dalam lima dekade terakhir. “Tahun 1954-1987, pangan pokok masyarakat masih 3-4 jenis yakni beras, ubi kayu, kentang dan jagung. Namun tahun 2010 pangan pokok masyarakat menjadi beras dan terigu sehingga permintaan beras meningkat,” ujarnya.
Ketiga, masih tingginya jumlah penduduk miskin. Rumah tangga dengan pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan mempunyai risiko 13.4 kali mengalami kelaparan. Meskipun tingkat kemiskinan menurun sampai 11,2% pada tahun 2015, namun jumlah penduduk miskin masih tinggi berkisar 28,59 juta jiwa.
Keempat, tidak stabilnya harga beras bahkan cenderung meningkat. Kelima, terjadinya pemiskinan perempuan (feminisme kemiskinan) yang menggambarkan ketidakadilan dalam soal keterwakilan perempuan.
“Di saat terjadi penurunan tingkat kemiskinan penduduk dari 12,36% (2013) menjadi 11,66% (2014), justru terjadi peningkatan kemiskinan pada rumah tangga dimana perempuan sebagai kepala keluarga yaitu 14.41% (2013) menjadi 14,97% (2014),” terangnya.
Dari beberapa faktor di atas, maka perlu penguatan kelembagaan SKPG, percepatan diversifikasi pangan, menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, menstabilkan harga beras dan meningkatkan gender equality of opportunity dengan mengembangkan kebijakan yang responsif gender.
“Implementasinya dapat dilakukan dengan penyusunan kerangka kebijakan yang kuat di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, melalui kerjasama multisektoral dan melibatkan seluruh aktor pembangunan,” tandasnya.(zul)