Guru Besar IPB: Indonesia Baru Berhasil Mengatasi Satu dari Empat Masalah Gizi
Keteledoran dalam pembangunan gizi akan mengakibatkan tingginya kematian bayi atau balita dan akan menghadapi the lost generation (generasi yang hilang) pada dekade-dekade yang akan datang. Lahirnya generasi yang bodoh karena kurang gizi mengakibatkan bangsa ini tetap berkubang dalam kemiskinan.
Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr. Ali Khomsan dalam Orasi Ilmiahnya mengatakan, dari empat masalah gizi utama yang dihadapi, Indonesia baru dapat mengatasi satu persoalaan yaitu kekurangan vitamin A. Tiga masalah gizi lainnya yaitu kurang energi protein (KEP), gangguan akibat kurang yodium (GAKY), dan anemia gizi besi (AGB) yang memiliki angka prevalensinya masih tinggi.
Orasi yang dibacakan berjudul “Kemiskinan, Kurang Pangan dan Kurang Gizi: Problem Bangsa yang Sedang Membangun”. Dalam orasi tersebut Prof. Ali menekankan bahwa bangsa yang abai terhadap gizi rakyatnya akan memikul beban berat berupa kemandulan otak anak bangsa dan akhirnya lahirlah bangsa yang bebal atau kurang cerdas.
“Program pengentasan kemiskinan pemerintah belum signifikan menekan jumlah orang miskin. Kelangkaan lapangan kerja dan PHK akan mengunci masyarakat dalam kemiskinan material. Penyediaan lapangan kerja akan menjadi salah satu exit strategy dalam mengatasi kemiskinan,” ujarnya saat Orasi Ilmiah di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Kampus IPB Darmaga (23/4).
Kriteria miskin yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) masih jauh dari yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Ini artinya jumlah orang miskin di Indonesia jauh melebihi angka yang selama ini disebut (28,51 juta orang). Bahkan FAO memperkirakan ada 19,4 juta orang Indonesia menderita kelaparan.
Status gizi yang masih rendah, kurang energi-protein, banyak kelompok rawan yang menderita anemia gizi besi (balita, ibu hamil atau ibu menyusui), gangguan karena kurang yodium dan kurang gizi lainnya ini dialami oleh seluruh provinsi di Indonesia. Wilayah yang prevalensinya paling tinggi adalah provinsi di wilayah timur Indonesia.
“Salah satu ciri ketidakbermutuan konsumsi pangan adalah masyarakat lebih mengandalkan konsumsi pangan sumber karbohidrat. Kesulitan ekonomi menjadi penyebab utama. Hal ini memunculkan fenomena kelaparan tersembunyi,” terangnya.
Dikatakan, jika dibandingkan dengan negara tetangga, konsumsi daging dan susu rakyat Indonesia jauh lebih kecil dari Malaysia. Konsumsi daging kita tahun 2011 hanya 2,12 kg/kapita/tahun sedangkan Malaysia sudah mencapai 15 kg/kapita/tahun. Konsumsi susu kita tahun 2013 hanya 13,5 liter/kapita/tahun sedangkan Malaysia 53,6 liter/kapita/tahun dan India 48,6 liter/kapita/tahun.
“Tidak hanya daging dan susu, konsumsi telur dan ikan juga tertinggal jauh. Dengan trend peningkatan konsumsi baik susu, daging, telur dan ikan yang lambat, diprediksi butuh waktu yang lama untuk mengejar ketertinggalan ini,” tandasnya.(zul)