Guru Besar IPB Ciptakan Dekomposer, Mampu Kurangi Pemakaian Urea Hingga 30 Persen
Pada tahun 1960-an, petani Indonesia dikenalkan dengan pupuk kimia dan pestisida. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida ini membuat petani terlena karena bertani terasa mudah, yang pada akhirnya membuat mereka melupakan pupuk organik. Hal ini menyebabkan setiap tahunnya terjadi peningkatan pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Selain itu, untuk mempercepat pengolahan tanah, jerami dibakar atau dibawa ke tempat lain. Ini artinya telah terjadi pengurangan unsur hara dalam tanah. Selanjutnya, pada tahun 1990-an kondisi tanah semakin parah, petani mulai mengeluh, produksi menurun, hama merajalela dan terjadi gagal panen .
“Bahkan sering ada laporan ada tanah petani yang mulai mengeras. Solusinya kurangi penggunaan pupuk kimia, gunakan pupuk organik dan pestisida hayati. Pupuk organik itu mampu memperbaiki seluruh sifat tanah, sedangkan pupuk kimia hanya memperbaiki sebagian dari sifat tanah,” ujar Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr. Iswandi Anas Chaniago dalam Orasi Ilmiah-nya yang digelar di Auditorium Andi Hakim Nasoetion Kampus IPB Dramaga Bogor, Sabtu (9/4).
Menurutnya, hingga saat ini, sistem pertanian di Indonesia belum berkelanjutan. Petani enggan menggunakan pupuk organik karena proses pembuatan pupuknya yang lama. Untuk itu, perlu peran teknologi seperti pengembangan dekomposer. Petani cukup menyediakan bahan baku pembuatan pupuk organik.
“Dulu sempat berkembang upaya kembali ke pupuk organik, tapi sekarang tidak lagi karena harga urea masih murah dengan adanya subsidi. Kita juga tidak mempertimbangkan pencemaran lingkungan karena pemakaian pupuk kimia. Saat ini, 80 persen tanah pertanian di petani ini sudah rusak. Oleh karena itu harus diperbaiki dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia,” terangnya.
Peranan pupuk organik sangat besar dalam memperbaiki kondisi tanah. Namun keberadaan pupuk organik dan kimia tidak perlu dipertentangkan. Contoh produk pupuk hayati hasil karya Prof. Iswandi yang sudah digunakan adalah Azozo, pelarut fosfat dan pelarut kalium.
“Kami ada biost, sudah komersial, dan super biost-IPB. Sudah masuk program pupuk hayati unggulan nasional untuk tujuh komoditi. Pupuk ini mengurangi biaya pemupukan sekira 30 persen. Hasil sama atau lebih dari produksi konvensional. Pupuk ini sudah melalui tahap uji coba selama dua tahun,” tandasnya.
Ada satu sistem budidaya padi yang efisien dan sudah dibuktikan oleh Prof. Iswandi yakni System of Rice Intensification (SRI). Sistem ini mengurangi input pupuk, air dan benih, tapi hasilnya malah meningkat.
“SRI sangat efisien. Gunakan benih muda, tanam dangkal satu bibit per lubang tanah dan tidak digenangi air. Pupuknya boleh kimia atau gabungan. Atau kalau tanah bagus dan pupuk organiknya tersedia, bisa menjadi SRI organik,” ujarnya.
Dari hasil uji coba, dari satu benih bisa menghasilkan lebih dari 70 anakan. Dengan cara konvensional (air tergenang) akar tidak berkembang. Sedangkan dengan SRI, akar tanaman berkembang. Peningkatan produksinya bisa sampai 30 persen.
“Tadinya saya tidak percaya begitu saja, tapi saya coba sendiri dengan mahasiswa saya dan ternyata benar. Saya juga kembangkan SRI di Malaysia. Dibangun di sana di Training Center,” pungkasnya.(zul)