Guru Besar IPB: Permasalahan Kehutanan Terjadi Jauh Sebelum Indonesia Merdeka

Guru Besar IPB: Permasalahan Kehutanan Terjadi Jauh Sebelum Indonesia Merdeka

Prof-Hariadi
Riset

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr. Hariadi Kartodiharjo melakukan Orasi Ilmiah berjudul “Diskursus dan Kebijakan Institusi-Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan Sosial Sumber Daya Alam di Indonesia”. Orasi digelar di Auditorium Andi Hakim Nasution, Kampus IPB Darmaga Bogor (13/2). Pakar kehutanan ini mengatakan persoalan kawasan hutan dan pertanahan telah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka.

 

Dalam orasinya, Prof. Hariadi memaparkan berbagai permasalahan kawasan hutan dan solusinya serta pengalamannya dalam mengikuti proses perubahan kebijakan. “Permasalahan kawasan hutan meliputi konflik antar berbagai pihak, keterlanjuran tambang, persoalan tukar menukar kawasan hutan, perizinan yang salah lokasi, atau hilangnya kekayaan negara dan tingginya biaya transaksi perizinan serta pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.

 

Menurutnya, hal ini terjadi karena hampir seluruh jajaran instrumen negara sedang mereproduksi wacana atau diskursus insecure property rights, legal tetapi belum legitimate. Ini adalah cara penguasaan lahan atas hutan/tanah bagi pembangunan yang sejalan dengan paradigma penelitian yang cenderung menggunakan pendekatan posivitik.

 

“Isu etika dalam penetapan masalah kebijakan malah ditinggalkan. Situasi ini menjadi sumber ketidakadilan bagi masyarakat lokal atau masyarakat adat, iklim ketidakpastian usaha, lambatnya perizinan, persoalan pengembangan pertanian dan infrastruktur ekonomi ataupun rusaknya sumber daya alam itu sendiri,” ujarnya.

 

Oleh karena itu, akademisi harus berada pada posisi sebagai pemihak dan pembela. Tantangan akademisi adalah menggeser paradigma penggunaan ilmu pengetahuan agar berjalan secara transdisiplin. Memasukkan kajian pencegahan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam.

 

“Kita juga harus memastikan posisi akademisi sebagai intelektual organik agar tidak hanya memahami teori dan pengetahuan saja. Tetapi mampu mewujudkan potensi pengetahuannya untuk memperbaiki kondisi dunia nyata pada saat berhadap-hadapan dengan rasa pesimis atau kebijakan-kebijakan publik yang menghadangnya,” ujarnya (zul)