Guru Besar IPB: Baru Tiga Badan Inseminasi Buatan yang Miliki SNI

Guru Besar IPB: Baru Tiga Badan Inseminasi Buatan yang Miliki SNI

Prof-Iis
Riset

Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) Prof.Dr. R Iis Arifiantini mengatakan, tidak semua Balai Inseminasi Buatan (BIB) di Indonesia memiliki sperma yang dibekukan (Semen) yang tersertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI). Dari 15 BIB, hanya 3 BIB yang tersertifikasi, yakni BIB Lembang, BIB Singosari dan BIB Kalimantan Selatan.

 

Padahal, ujarnya, ada Undang-undang No. 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan yang menyebut bahwa setiap bibit atau benih yang beredar wajib memiliki sertifikat.  Sertifikat yang berlaku hingga tiga tahun ini memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulannya.

 

“Dari data yang kami peroleh di tiga balai tersebut, dari total jumlah sapi yang tersertifikat, akan menghasilkan 14.250.000 straw. Kalau berjalan lancar maka tiga tahun ke depan akan dapat tambahan sebanyak 7.260.000 pedet hasil Inseminasi Buatan (IB),” ujarnya saat jumpa pers Pra Orasi di Kampus IPB Baranangsiang Bogor, (28/1). Prof Iis telah melakukan Orasi Ilmiah Guru Besar, Sabtu (30/1) di Kampus IPB Darmaga, Bogor.

 

Dikatakan, tidak semua semen berhasil diinseminasikan. Hal ini tergantung dari mortilitas spermatozoa (minimal 40%) dan gerakan individu (minimal 2). Sesuai dengan persyaratan mutu semen beku yang tercantum dalam SNI.

 

Dalam judul orasinya “Pengembangan Teknik Produksi Semen Beku Sapi di Indonesia”, Prof Iis mengatakan hanya irisan kecil saja dari begitu banyak sel untuk bisa membuahi. Semen beku sapi standar harus mengandung 25 juta sel, maka hanya 5,5 juta sel yang potensial untuk membuahi sel telur.

 

“Seluruh BIB telah menggunakan teknik pengambilan semen dengan vagina buatan. Jadi semua balai sudah terstandar. Untuk parameter uji makroskopis semua sudah baik. Namun ada dua parameter uji yang belum dilakukan di semua BIB yakni viabilitas dan morfologi,” tambahnya.

 

Parameter itu diperlukan karena tidak semua spermatozoa sempurna. Semua spermatozoa yang abnormal tidak bisa membuahi sel telur. Abnormal ada dua macam primer dan sekunder.

 

“Abnormal primer artinya terjadi kerusakan pada kepala spermatozoa dan abnormal sekunder terjadi pada ekor. Jika yang rusak bagian kepala maka akan menurunkan fertilitas spermatozoa. Namun jika yang rusak bagian ekor, tidak jadi masalah,” terangnya.

 

Dari hasil penelitian terhadap 164 pejantan di 15 BIB se Indonesia. Ada 11 ekor sapi atau 6,7% yang abnormalnya tinggi tapi semennya sudah disebarkan. Kenapa ini terjadi, karena tidak adanya pengujian terhadap parameter viabilitas dan morfologi.

 

Untuk tingkat abnormalitas dan fertilitas di lapang, Prof. Iis menggunakan sample 186 ekor betina untuk diuji dengan jantan yang punya tingkat abnormalitas berbeda.

 

“Semakin tinggi tingkat abnormalitas maka semakin rendah fertilitasnya. Oleh karena itu dalam orasi saya, semua BIB diundang supaya mereka tahu bahwa belum semua parameter diujikan. Sapi-sapi di balai itu harus diuji kembali apakah memiliki abnormalitas sehingga perlu diperbaiki,” ujarnya.

 

Prof. Iis juga menyarankan agar semua BIB menggunakan pengenceran semen Metode II, untuk memastikan jumlah sel dalam satu straw. Metode yang selama ini digunakan (Metode III) berisiko terhadap kurangnya jumlah spermatozoa per straw jika terjadi kesalahan dalam penghitungan konsentrasi spermatozoa.

 

Saran lainnya, penanda molekuler untuk menentukan kualitas spermatozoa sapi eksotik, sebagai bagian dari seleksi pejantan untuk bibit perlu dikembangkan. Perlu peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) untuk pengujian morfologi spermatozoa di BIB/BIBD.(zul)