Guru Besar IPB: Pertanian Monokultur Rentan Serangan Hama
Guru Besar Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr.Ir. Meity Suradji Sinaga mengatakan, budidaya tanaman padi yang luas dengan satu varietas yang sama akan membentuk sistem monokultur yang memiliki kelemahan yaitu mudahnya terjadi epidemik penyakit. Blast yang dulu hanya menyerang padi gogo, sekarang padi sawah hancur karena blast. Ini akibat monokultur.
“Kalau satu varietas tanaman ditanam secara meluas, akan memberikan tekanan yang tinggi pada patogen. Hal ini akan menyebabkan perubahan genetik pada patogen sehingga timbul patogen yang virulen,” ujarnya dalam konferensi pers pra orasi di Kampus IPB Baranangsiang Bogor, (6/10).
Epidemik merupakan perkembangan penyakit dalam populasi tanaman/area/waktu. Blast memiliki kecepatan perkembangan yang tinggi sehingga sebelum tanaman berproduksi, tanaman tersebut sudah hancur, karena blast menyerang daun.
“Selain itu, kondisi saat ini dimana hutan dibakar untuk memperluas lahan kelapa sawit juga merupakan sistem monokultur. Bayangkan jika seluruh Indonesia diganti sawit, kakao dan kelapa diganti sawit. Maka monokultur terjadi dan keragaman genetiknya kecil sekali. Sekarang terlihat bagaimana sawit mati karena ganoderma,” ujarnya.
Padi bisa diakali karena varietas padi macam-macam. Kita bisa buat tahanannya kecil dengan multi varietas sehingga bisa mendobrak sistem monokultur, tambahnya.
Pengendalian hayati sudah tersedia secara alami. Pada ekosistem alami pengendalian hayati sudah terjadi dengan sendirinya. Karena intervensi manusia (proses budidaya tidak ramah lingkungan) maka agen yang menjadi sumber hayati tersebut menjadi punah. “Itu yang kita lihat dengan adanya keragaman yang sempit dan kelimpahannya semakin kecil yang membuat agen pengendaian hayati tidak bisa aktif lagi. Inilah saatnya kita kembali melakukan pengendalian yang ramah lingkungan,” imbuhnya.
Sejak tahun 1970, konsep pengendalian hayati mulai diterima dan diaplikasikan pada budidaya berbagai tanaman, walaupun keefektifan pengendalian terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tidak secepat pestisida. Agen Pengendali Hayati (APH) penyakit tumbuhan adalah makhluk hidup, oleh karena itu untuk pengembangan dan pemanfaatan APH perlu kehati-hatian tinggi terutama dalam identifikasi APH dan pemahaman yang benar.
“Suatu tantangan bagi Indonesia dengan keanekaragaman dan kelimpahan mikroorganisme atau APH yang tinggi, apakah mau memanfaatkan karunia yang spektakuler ini untuk membantu pencapaian produksi tanaman optimum yang berkelanjutan,” tandasnya. (zul)