Guru Besar IPB: Lahan Sawah Paling Mudah Dikonversi
Pada tahun 1960-an, Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) Pokok Agraria. Pada zaman orde baru, karena alasan pertumbuhan ekonomi, Presiden Soeharto mengeluarkan berbagai macam UU yang sifatnya sektoral. Ada UU Kehutanan, UU Transmigrasi, UU Pertanian dan sebagainya. Yang menjadi masalah adalah semua UU tersebut mengatur lahan sehingga berbenturan dengan UU Agraria. Selain itu, di Kawasan Indonesia Timur, masyarakatnya memberlakukan pengaturan tanah yang turun temurun, tidak tertulis.
Hal ini disampaikan oleh Prof.Dr Santun R.P. Sitorus, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam konferensi pers pra orasi di Executive Lounge Kampus IPB Baranangsiang, Kamis (27/8). Menurutnya, saat jumlah penduduk meningkat dengan beragam kebutuhan, pengalokasian lahan sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan dengan cara tradisional. Perlu dilakukan evaluasi sumberdaya lahan dan dilanjutkan perencanaan penggunaan lahan.
Perencanaan penggunaan lahan bisa dilakukan dari skala kecil hingga besar untuk mengatasi permasalahan di kota dan pinggiran, konversi pertanian ke non pertanian.
“Konversi lahan terjadi karena adanya perbedaaan nilai ekonomi lahan. Penggunaan lahan pertanian jauh lebih rendah dari non pertanian, sawah satu hektar selama empat bulan hanya menghasilkan 2-3 juta rupiah, bandingkan kalau dijadikan rumah atau ruko maka 100 meter dapat lebih banyak dari itu,” ujarnya.
Penghasilan bersih yang dapat diperoleh dari sebidang lahan paling kecil adalah sawah sehingga kalau dibenturkan maka penggunaan sawah sangat mudah dikonversi. Contohnya di daerah Sindang Barang Bogor, pada tahun 60-70-an masih ada sawah yang baik, begitu kampus IPB ada di Darmaga maka lahan sawah tidak kuat lagi menahan alih fungsi. Lahan sawah kini berubah menjadi toko, indekos, hotel dan rumah makan. Hal yang sama terjadi di wilayah Jabodetabek, terjadi percepatan kawasan terbangun di wilayah tersebut. Dengan adanya pertumbuhan penduduk terjadi perombakan pengunaan lahan menjadi kawasan terbangun. Ini yang mengakibatkan munculnya berbagai masalah lingkungan.
“Di Indonesia proses pengalihfungsian lahan sangat mudah dan cepat prosesnya. Bandingkan dengan di Inggris, untuk merubah kawasan pertanian yang luas di negara maju diperlukan debat publik lebih dari 10 tahun. Pemerintahnya tidak bisa semena-mena,” tuturnya.
Dari kajian yang dilakukan Prof. Santun, proses konversi lahan pertanian di Indonesia adalah di Jawa, sawah menjadi perumahan 58,7%, sawah menjadi non sawah 21,8%. Di luar Jawa, sawah menjadi perumahan 16,1%, sawah menjadi non sawah 48,6%.
“Pada tahun 1973-1980, saya terlibat dalam pengelolaan sawah pasang surut, sekarang apa yang terjadi, lahan tersebut sudah menjadi lahan sawit. Maka saya khawatir kecukupan pangan dan ketahahan pangan kita akan terancam,” terangnya.
Oleh karena itu, dalam orasi ilmiahnya yang akan dilaksanakan pada Sabtu (29/8), di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Kampus IPB Darmaga, Prof. Santun mengemukakan teori dan konsep penggunaan lahan dan perencanaan penggunaan lahan serta penerapannya untuk pembangunan pertanian, transmigrasi dan wilayah kota. Dan diakhiri dengan pemikiran pengembangan konsep untuk digunakan di masa depan. (http://bit.ly/1UgD0Gd)
Dalam penataan ruang dan penggunaan lahan wilayah diperlukan landasan ilmiah yaitu evaluasi lahan dan perencanaan penggunaan lahan agar penggunaan lahan wilayah dapat optimal secara berkelanjutan. Di masa mendatang sangat diperlukan pengintegrasian penataan keagrariaan dan penataan ruang dalam sistem perencanaan tata ruang.(zul)
Tag : Santun R.P. Sitorus, orasi ilmiah IPB, pengelolaan lahan, perencanaan tata ruang, konversi lahan, Guru Besar IPB, Fakultas Pertanian IPB.