Guru Besar IPB Hadirkan Teknologi Mengawetkan Kayu Tanpa Bahan Pengawet

Guru Besar IPB Hadirkan Teknologi Mengawetkan Kayu Tanpa Bahan Pengawet

Prof-Yusuf-Sudohadi
Riset

Kebutuhan kayu bulat untuk industri perkayuan Indonesia pada tahun 2013 mencapai sekitar 40 juta meter kubik yang dipenuhi sekitar 60 persen dari hutan tanaman. Kayu dari hutan tanaman umumnya lebih rentan diserang rayap tanah. Menurut pakar rayap Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr. Dodi Nandika (http://bit.ly/1InzK5c) kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan rumah dan non rumah di Indonesia pada tahun 2015 bisa mencapai 10 triliun rupiah. Oleh karena itu, perlu usaha meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan bio-deteriorasi, khususnya rayap.

 

Guru Besar Fakultas Kehutanan (Fahutan) IPB, Prof.Dr Yusuf Sudo Hadi dalam konferensi pers pra orasi di Executive Lounge (27/8) Kampus IPB Baranangsiang Bogor mengatakan untuk memperpanjang masa pakai kayu, umumnya dilakukan teknik pengawetan dengan bahan kimia beracun. Bahan pengawet ini memberikan efek samping yakni berbahaya bagi kehidupan organisme di sekitarnya, termasuk manusia.

 

“Kami di Fakultas Kehutanan IPB melakukan teknik pengawetan kayu yang lebih ramah lingkungan yaitu melalui modifikasi kimia kayu. Ada beberapa metoda yang kami lakukan seperti metoda pengasapan, asetilasi, furfurilasi, kayu plastik, maupun komposit kayu plastik (Wood Plastic Composite, WPC),” ujarnya.

 

Menurutnya, asap belum dimanfaatkan dengan baik padahal mengandung bahan kimia fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol, ester, hidrokarbon, dan berbagai bahan heterosiklis. Phenol dan turunannya mempunyai sifat racun terhadap bakteri, rayap maupun jamur sehingga asap bisa digunakan untuk pengawetan kayu. Kayu sengon, sugi dan pulai setelah diasapi dengan asap kayu mangium selama tiga hari menjadi sangat tahan terhadap rayap tanah (dari kayu kelas V menjadi kayu kelas I). 

 

Contoh lain adalah kayu WPC. WPC merupakan produk generasi terakhir dari kelompok biokomposit. Pada pembuatannya kayu dibuat serbuk halus, kemudian dicampur dengan plastik pada suhu lelehnya, lalu diekstrusi menjadi produk WPC berupa lempengan seperti papan maupun bentuk lainnya sesuai kebutuhan.

 

“Warna WPC dapat disesuaikan dengan permintaan pasar karena dalam pembuatannya bisa ditambahkan pigmen atau warna. Kelebihan lainnya, WPC cukup kuat, tahan air, dan tahan terhadap bio-deteriorasi. Di Indonesia sudah ada pabriknya dan produknya sudah ada di pasaran, serta WPC ini telah digunakan di beberapa tempat misalnya untuk menutup saluran air di sekitar kolam renang. Kalau di Amerika biasanya digunakan untuk bagian rumah yang terkena pengaruh cuaca,” terangnya.

 

Sebagai penutup, Prof. Yusuf mengatakan produk kayu yang diawetkan dengan teknik pengawetan ramah lingkungan ini sangat menjanjikan pada masa yang akan datang. Walau produk ini belum populer di negeri kita pada saat ini, namun di negara maju sudah banyak diproduksi dan dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi. (zul)

 

Tag: Yusuf Sudo Hadi, teknik pengawetan ramah lingkungan, rayap, guru besar IPB, orasi ilmiah IPB, kayu, fakultas kehutanan IPB, Dodi Nandika.