Guru Besar Kehutanan IPB: Jerat Pembakar Hutan dengan Pasal Berlapis

Guru Besar Kehutanan IPB: Jerat Pembakar Hutan dengan Pasal Berlapis

DSC_5337-2
Riset

Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (Fahutan IPB), Prof.Dr.Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr akan melakukan Orasi Ilmiah pada Sabtu (28/2) esok, dengan judul “Bukti Ilmiah dalam Penegakan Hukum Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Pendekatan Multidoor”. Dalam konferensi pers yang digelar di Kampus IPB Baranangsiang, Kamis (26/2), Prof Bambang memaparkan riset yang digelutinya selama ini yakni tentang kasus kebakaran hutan di Indonesia.

 

Menurut Prof. Bambang, kebakaran hutan di Indonesia sesungguhnya sudah terjadi bertahun-tahun bahkan dapat dikatakan memiliki sejarah yang kelam dan teramat menyakitkan dan terasa akan langgeng. Hal ini ditunjukkan dengan indikasi titik panas yang tidak menurun selama lima tahun terakhir, ditambah lagi dengan meningkatnya secara signifikan jumlah titik panas pada beberapa negara Asia Tenggara. 

 

Kehadiran asap seakan menunjukkan bahwa para pembakar tetap setia menjalankan aksinya, apakah dilakukan di lahan masyarakat maupun milik korporasi. Baik yang dilakukan dengan sengaja atau meminjam tangan orang lain, dan lagi-lagi kegiatan ini telah terjadi bertahun-tahun sehingga tetap lestari hingga hari ini.  

 

Kenyataan ini belum mampu meyakinkan serta menyadarkan petinggi Republik ini, bahwa kebakaran hutan dan lahan tersebut dampaknya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Baru rakyat kecil saja yang menanggung akibat dari kebakaran yang diperbuatnya, namun bagi korporasi yang jelas-jelas melakukan perbuatannya justru dengan bangga terlepas dari hukumannya. 

 

Contoh kasus, saat PT. Adei Plantation & Industry (Malaysia) ketahuan membakar hutan seluas 40 hektar, vonis yang diberikan adalah satu tahun penjara dan denda pidana 15 milyar rupiah. Saat PT. National Sago Plantation (PT. NSP) membakar tiga ribu hektar dengan tingkat kerugian diperkirakan senilai 1,04 triliun rupiah, vonis yang diberikan adalah bebas (korporasi dinyatakan bersalah, namun direkturnya bebas) dan denda dua milyar rupiah. “Hal ini terjadi karena hakim dan anggota yang menangani kasus ini tidak memiliki sertifikat lingkungan,” tandas Prof Bambang.

 

Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan pembuktian secara ilmiah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pembuktian dilakukan secara ilmiah menggunakan data dan fakta ilmiah, metoda ilmiah, serta hasilnya pun berdasarkan hasil analisa laboratorium. Pembuktian ini harus dilakukan pula oleh ahli yang benar-benar mempunyai kompetensi sebagai ahli kebakaran hutan dan lahan. 

 

Dikatakan, mayoritas kejahatan kehutanan terjadi karena adanya korupsi dari pihak terkait. Sementara pengaturan mengenai hukum pidana dan hukum acara pidana dalam Undang-undang (UU) Kehutanan memiliki beberapa keterbatasan. Antara lain alat bukti yang diatur di UU Kehutanan masih sangat konvensional, dan belum mengakomodir rekaman. 

 

Sanksi dari hukum pidana kehutanan hanya sebatas penjara dan denda, tidak termasuk pemulihan. Sementara, pengaturan mengenai tindak pidana korporasi masih terbatas, hanya menyasar pengurus badan hukum dan badan usaha serta sanksi terbatas penjara tidak ada pencabutan badan hukum dan lain sebagainya. 

 

“Maka perlu upaya penegakan hukum yang bersifat lintas sektoral, artinya menggunakan berbagai perundang-undangan dan bersifat kumulatif atau yang dikenal dengan istilah multidoor. Jadi satu kasus kebakaran hutan bisa banyak Undang-undang yang digunakan, misalnya tipikor, tata ruang, pidana dan perdata,” tandasnya.(zul)