Pakar Hutan IPB Mengudara di RRI

Pakar Hutan IPB Mengudara di RRI

hutan-2
Riset

Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah, sehat, segar, dan nyaman. Namun, dari aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan, kota yang hijau akan membebaskannya dari polusi dan kebisingan serta sehat dan cerdasnya warga kota.  Hal ini disampaikan Dr. Endes N Dachlan, staf Pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, belum lama ini dalam Dialog Pakar di RRI Bogor.

Dengan meningkatnya pembangunan kota seperti: pembangunan jalan, kegiatan transportasi, industri, pemukiman dan kegiatan lainnya sering mengakibatkan luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurun dan sering juga disertai dengan menurunnya mutu lingkungan hidup. Hal ini akan mengakibatkan kota menjadi sakit, tercemar dan kotor. Pada keadaan yang menyedihkan seperti ini pejabat pemerintah mungkin tidak lagi dapat berpikir jernih, futurustik, cerdas, strategik, tajam dan terarah, sehingga kemampuannya dalam memecahkan masalah yang kompleks dan yang bersifat futuristik, strategik dan dinamik akan menurun.

Pelajar dan mahasiswa pada kota yang sakit dan tercemar mempunyai sifat yang mengarah ke temperamental-brutal dengan daya asah otak yang kurang kuat, karena selama perjalanan pergi dan pulangnya banyak tercemar oleh polutan antara lain gas CO dan logam berat Pb yang diemisikan oleh kendaraan bermotor.

Seniman dan olah-ragawan pun tidak dapat menunjukkan kemampuannya secara maksimal. Kondisi yang tercemar, bising dan panas akan mengganggu dan menurunkan kualitas pentas dan prestasi mereka.  Lebih jauh Dr. Endes menjelaskan, pembangunan kota sering lebih banyak dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik yang banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana. Gejala pembangunan kota mempunyai kecenderungan untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan juga menghilangnya wajah alam.  Lahan-lahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi pertokoan, pemukiman, tempat rekreasi, industri dan lain-lain.

Ternyata dengan semakin tidak harmonisnya hubungan manusia dengan alam tetumbuhan khususnya pepohonan dan hutan mengakibatkan keadaan lingkungan di kota dan perkotaan menjadi hanya maju secara ekonomi namun mundur secara ekologi.  Padahal, kestabilan kota secara ekologi sangat penting, sama pentingnya dengan nilai kestabilannya secara ekonomi. Terganggunya kestabilan ekosistem kota dan perkotaan, maka alam menunjukkan reaksinya berupa: lebih hangatnya suhu udara di pusat kota, penurunan permukaan air tanah, banjir, penurunan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai, pencemaran air karena mengandung logam berat atau deterjen, pencemaran udara seperti meningkatnya kadar CO, ozon, oksida nitrogen dan belerang, debu, suasana yang gersang, monoton, bising dan kotor.

Oleh sebab itu, Dr. Endes menegaskan, pembangunan kota harus dirancang dengan baik, kualitas ekologi mesti diperhatikan karena sama pengtingnya dengan pembangunan ekonomi. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah kualitas dan luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan hutan kota.  Sejarah menyatakan, taman kerajaan milik bangsawan, taman rumah milik pedagang kaya raya, alun-alun dengan pohon beringin yang indah merupakan cerminan kehidupan manusia sejak jaman dulu.  Para pendahulu kita sudah akrab dengan pepohonan dan sangat membutuhkan tumbuhan. Hal ini terlihat dari padi dan kapas dalam lambang negara Garuda Pancasila.  Namun dengan perkembangan waktu dan meningkatnya taraf hidup, sejak tahun 1950-an sampai dengan 1970-an ruang terbuka hijau banyak dialih-fungsikan menjadi pemukiman, bandar udara, industri, jalan raya, bangunan perbelanjaan dan lain-lain.  Sebenarnya UU nomor 26 tahun 2007 telah mensyaratkan pembangunan kota minimal 30% harus dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002 yang mensyaratkan luas hutan kota minimal 10% dari luas kota. (wly)