Pajak Alkohol Menghambat Ekspor Bioetanol

Pajak Alkohol Menghambat Ekspor Bioetanol

Berita

Pajak alkohol sebesar Rp 10 ribu per liter dinilai menghambat ekspor bioetanol untuk bahan bakar (fuel). Hal ini diungkap  Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan dalam  Workshop Bisnis Bioetanol Singkong Selasa (29/4) di IPB International Convention Center. "Pemerintah menyamaratakan  bioetanol sebagai komoditi minuman beralkohol dan bahan bakar. Akibatnya, ekspor bioetanol pun dikenai pajak ekspor alkohol," keluh Paulus. Pemerintah perlu memperjelas peraturan pajak alkohol ini, sekaligus lebih mensosiasasikan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar oplosan. Ini akan mengurangi hambatan dagang dan penggunaan bahan bakar bioetanol di lapang.

 

 

Brazil, produsen terbesar bioetanol, menghasilkan 15,9  juta kilo liter dari tebu. Posisi kedua ditempati Amerika Serikat dengan produksi 13,4 juta kilo liter dari jagung. Indonesia berpeluang menjadi produsen biofuel terbesar dunia. Beberapa komoditi Indonesia seperti sagu, ubi kayu (singkong), dan ubi jalar berpeluang sebagai bahan baku bioetanol.  Khusus singkong, komoditi ini  dinilai lebih efesien menghasilkan bioetanol.  Dari 6,5- 8 kilogram singkong bisa menghasilkan 1 liter etanol. Produktivitas singkong tergolong tinggi minimal 30 ton per hektar. Singkong belum diperdagangkan di pasar komoditas internasional (harga belum fluktuatif). Petani banyak menanam singkong sebagai tumpang sari maupun komoditi utama. Singkong bisa ditanam di lahan marginal.

 

 

Bambang Purnomo dari PT.Kreatif Energi Indonesia memaparkan proses pembuatan bioetanol singkong untuk industri kecil atau rumah tangga. Ubi kayu yang sudah dikupas, dicuci, dipotong kecil-kecil dan dibuat bubur ubi kayu. Selanjutnya ditambahkan enzim alfa amilase untuk mengubah pati menjadi dextrin dan dimasak 100 derajat celsius selama 30 menit. Lalu, ditambahkan enzim glukoamilase yang bertujuan mengubah dextrin menjadi glukosa. Pupuk urea, Nitrogen Pospor Kalium (NPK), ragi dicampurkan dan dimasukkan ke fermentor agar terjadi fermentasi, sehingga nantinya diperoleh etanol 95 persen.

 

Bambang juga mengutarakan alasan pengembangan pabrik bioetanol skala kecil. Menurutnya Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang sebagian besar pulau kecil. "Sebagian pulau besar terdiri dari bukit-bukit, sehingga sulit dilakukan pengolahan lahan secara mekanis," katanya. Ditambah distribusi  penduduk tidak merata. Pada saat kondisi ekonomi belum pulih, investor kurang tertarik berinvestasi skala besar yang menghabiskan biaya investasi lebih dari 100 Milyar. Pengolahan limbah skala kecil lebih mudah dan murah, sehingga produksi ramah lingkungan mudah tercapai. "Penyerapan tenaga kerja relatif lebih besar dan diharapkan lebih cepat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pabrik skala kecil dapat dibangun dekat bahan baku."

 

Workshop ini terselenggara berkat kerjasama  Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor dan Kamar Dagang Indonesia (KADIN).Workshop yang dibuka Wakil Rektor IV Bidang Bisnis dan Komunikasi, Dr.Ir.H. Arif Imam Suroso, M.Sc ini menghadirkan pembicara lain antara lain: Sucipto Prayitno (PT.Bank Mandiri, Tbk),  Titik Sundari (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian), Prof.J.Wargiono (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan), Tjutju Juniar Sholiha (PT.Biofeul Bigcassava Hidayah), Bona Pasaribu (PT.Sampoerna Agro), Yuttie Nuryanti (PT.Pertamina), Dadan Kusdiana (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral), Djatnika S.Puradinata (PT.Medco Energi), Benny Wahyudi (Departemen Perindustrian), dan Lestari Indah (Badan Koordinator Penanaman Modal). (ris)