Merubah Paradigma Pariwisata Menjadi Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Merubah Paradigma Pariwisata Menjadi Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Berita

Perubahan paradigma pariwisata yang tidak hanya melihat pariwisata sebagai penghasil devisa dan pemberi manfaat ekonomi, tapi juga sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Manfaat ekonomi pariwisata tidak hanya berupa manfaat langsung dari jumlah tiket yang terjual, pajak, dan retribusi yang berkontribusi langsung pada pendapatan pemerintah daerah tapi juga seberapa besar multiplier effect dari kegiatan tersebut bagi masyarakat.

Begitu dipaparkan Rektor IPB, Prof.Dr.Ir.A.A.Mattjik, M.Sc., dalam Seminar Nasional "Pengembangan Industri Wisata Berbasis Lingkungan dan Budaya dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan", Hotel Sahid, Selasa (1/5), Jakarta.

"Kita harus berupaya mendorong paradigma pariwisata yang lama ke paradigma baru, dimana tidak hanya berimbas langsung kepada si pelakunya, namun juga harus bisa menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa," ujarnya.

Menurutnya, dalam mengelola kegiatan pariwisata berbasis lingkungan dan budaya dalam upaya pengentasan kemiskinan ini, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Diantaranya adalah kebijakan yang mendukung, infrastruktur, pengelolaan, permodalan, promosi dan keterlibatan masyarakat.

"Harapannya, dengan adanya kegiatan pariwisata yang dikelola dengan baik, maka akan meningkatkan industri kecil di sekitarnya, yang dampaknya akan meningkatkan ekonomi kerakyatan, dimana pada akhirnya dapat memberikan pemasukan devisa bagi pemerintah," paparnya.

Beliau juga menambahkan, paradigma lama terhadap pertanian yang hanya on farm belaka harus dirubah menjadi paradigma baru menjadi, agrobisnis, agroindustri, agroservices, agrotourism dan sebagainya. IPB sendiri menganut pardigma baru ini dengan mendirikan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Fakultas Ekologi Manusia (Fema), serta Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA).

Terkait dengan pariwisata ini, Dekan FEM, Dr. Sri Hartoyo, MS., mengeluhkan, keanekaragaman hutan tropik yang melimpah dan berpotensi tidaklah tergarap dengan baik. "Pariwisata Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain. Salah satunya dari negara tetanga yaitu Taiwan dan Malaysia," ujarnya.

Beliau juga mengharapkan, dengan adanya kegiatan ekowisata, diharapkan dapat meningkatkan ekonomi kerakyatan dan dapat mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. "Pada tahun 2006 angka kemiskinan sekitar 17%, mudah-mudahan tahun 2007 ini, angka tersebut tidak bertambah," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Panitia Dr.Ir.Ahyar Ismail, M.Agr., mengatakan, Seminar Nasional Pengembangan Industri Wisata Berbasis Lingkungan dan Budaya dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan di Jakarta ini, merupakan rangkaian dari Dies Natalis ke-6 FEM IPB.

Seminar ini juga diikuti dari berbagai lembaga pariwisata baik pemerintahan maupun swasta, diantarannya adalah agen-agen pariwisata, pengelola, travel, mahasiswa pencinta alam, peneliti, dosen dan sebagainya.

Kegiatan hasil kerjasama antara Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Bank BTN ini juga menghadirkan Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, Dr. Sapta Nirwandar, Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur Kementrian Percepatan Pembangnan Daerah Tertinggal, Ir. Lucky H.Korah, M.Si., Ketua Departemen ESL, Prof.Dr.Ir.Ahmad Fauzi, M.Sc., Dosen dan Peneliti Fakultas Kehutanan IPB, Prof.Dr. E.K.S. Harini Muntasib, Environment Advisor, Direktorat Lingkungan Hidup badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Dr. Krystyna krassowska, Pengelola kampoeng Wisata Cinangneng, Hester Basoeki, Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pengrango, dan Ir. Novianto Bambang W, Ms., Yayasan Ekowisata Halimun Teguh Hartono. (man)