Kementerian KUKM Siapkan ‘Award’ Bagi Pasar Tradisional yang Bebas Bahan Pengawet Berbahaya

Kementerian KUKM Siapkan ‘Award’ Bagi Pasar Tradisional yang Bebas Bahan Pengawet Berbahaya

Berita

Guna menggerakkan semangat produksi sehat di kalangan usaha kecil dan menengah (UKM), Kantor Kementerian Koperasi dan UKM (KUKM) akan memberikan stimulan berupa penghargaan (award) bagi pasar-pasar tradisional di Indonesia yang terbukti tidak menjual bahan makanan atau minuman yang menggunakan bahan pengawet berbahaya.

“Bentuk rangsangan dalam semangat produksi sehat itu, adalah semacam penghargaan kepada pasar-pasar tradisional, yang semua produk makanan dan minuman terbukti tidak menggunakan bahan tambahan dan pengawet yang mengandung bahan berbahaya,” kata Ir Emilia Suhaimi, MM, Asisten Deputi Informasi dan Publikasi Bisnis KUKM di Bogor, Kamis.

Ia mengemukakan hal itu disela-sela Seminar Nasional “Chitin-Chitosan” 2006, yang diselenggarakan Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB), didukung KUKM, Depkes dan Badan POM-RI.

Para ilmuwan dari Departemen THP FPIK-IPB, belum lama ini berhasil menemukan bahan alami sebagai pengawet makanan, yakni “chitosan”. “Chitosan”, menurut Dr Ir Linawati Hardjito, Ketua Departemen THP FPIK-IPB, merupakan produk turunan dari “polimer chitin”, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan

“Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah `chitosan`,” katanya.

Menurut Emilia Suhaimi, harapan untuk menuju produksi sehat, dalam sebuah mata rantai pembuatan makanan dan minuman harus menjadi semangat bersama, dan guna mewujudkannya memerlukan sinergi antarpihak terkait.

“Tentu saja, untuk menuju harapan itu kami dari KUKM harus bersinergi dengan pihak lain, termasuk perguruan tinggi (PT), seperti di IPB ini yang melalui riset-risetnya telah mampu menemukan alternatif bahan pengawet alami,” katanya.

Dengan jalinan kerjasama semacam itu, kata dia, tentu saja bila produk-produk pengawet alami yang aman itu dapat dikembangkan dalam jumlah massal, ke depan juga akan sangat membantu para UKM, sehingga produk makanan atau minuman yang dihasilkan aman dan masyarakat konsumen pun tidak takut untuk memakainya.

Sementara itu, terkait dengan produksi “chitosan” yang hingga kini belum dapat diproduksi secara massal, setelah ilmuwan THP FPIK-IPB menemukannya, dan telah mampu menggantikan pengawet berbahaya seperti formalin dan borak, Deputi Badan POM-RI, Prof Dr Dedi Ferdias mengemukakan bahwa pihaknya masih menunggu masukan lengkap, termasuk dari pihak industri yang akan memproduksinya secara besar.

“Semua temuan-temuan itu memang masuk ke Badan POM, dan kita akan mengajinya dengan teliti dan seksama, termasuk prosesnya dengan penekanan bahan-bahan itu aman,” katanya. Hanya saja, meski belum sampai pada penilaian menyeluruh khususnya dari industri yang akan memproduksi dalam jumlah besar temuan tentang “chitosan”, karena berasal dari bahan alami, maka tingkat keamanannya tidak bermasalah.

“Yang sedang kita tunggu adalah justru laporan lengkap dari pihak industri yang akan memakai `chitosan` itu,” katanya. Pada bagian lain, Dedi Ferdias menambahkan bahwa dalam kaitan menjaga dan melakukan pengawasan atas produk makanan dan minuman, pihaknya bekerjasama dengan aparat pemerintah daerah (Pemda) di kota/kabupaten di seluruh Indonesia, juga sudah menyiapkan tenaga pengawas pangan dan penyuluh keamanan pangan.

Untuk tenaga pengawas pangan, saat ini sudah ada 1.691 orang, sedangkan untuk penyuluh keamanan pangan sejumlah 2.300 orang. “Khusus untuk penyuluh keamanan pangan, minimal di Indonesia mestinya ada 6.000-an orang,” katanya. Sementara itu, Dr Ir Linawati Hardjito, Ketua Departemen THP FPIK-IPB menjelaskan bahwa seminar nasional tersebut digagas, salah satu alasannya adalah adanya sinyalemen mulai maraknya kembali pemakaian formalin.

Kondisi itu disampaikan oleh sejumlah UKM yang melaporkan temuan-temuannya kepada Laboratrium Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB). “Akhir-akhir ini penggunaan formalin sebagai pengawet produk disinyalir marak kembali, dan UKM yang tidak menggunakan formalin merasa sangat dirugikan,” kata Linawati Hardjito.

Ia mengemukakan bahwa keluhan tersebut disampaikan oleh sejumlah UKM di berbagai daerah, mulai dari Jabotabek, Cilacap (Jawa Tengah), dan juga dari Jabar, yang mendatangi Departemen THP FPIK-IPB. “Para UKM tersebut menginginkan adanya pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas, dan saat ini para UKM sedang menunggu arahan lebih lanjut dari pihan berwenang,” katanya.

Sejumlah UKM yang datang ke THP FPIK-IPB itu, misalnya yang datang dari Cilacap, membawa contoh makanan tahu yang diproduksi tanpa menggunakan formalin atau pengawet berbahaya lainnya, dengan produk sejenis yang punya daya awet melebihi produk buatannya, yang menggunakan bahan alami, yakni “chitosan”. “Jadi, UKM yang datang membawa contoh-contoh produk yang daya awetnya cukup lama, dan ternyata aroma produk itu sangat menyengat, dan kini sedang kita teliti guna mengetahui kandungan di dalamnya,” katanya. antara/pur/man