Guru Besar Penyuluhan Gender IPB University: Peran Perempuan Tani Penting Tapi Tidak Tampak

Prof Anna Fatchiya, dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University mengatakan, peran sentral perempuan dalam sektor pertanian saat ini sangat penting namun tidak tampak.
Menurut Guru Besar Penyuluhan Gender IPB University, kontribusi signifikan perempuan tani sering kali tertutupi oleh dominasi laki-laki dalam forum-forum pengambilan keputusan. Akibatnya, tak jarang program-program pemerintah di bidang pertanian menunjukkan bias gender.
“Selama ini, perencanaan dan pelaksanaan sampai evaluasi program pembangunan lebih melibatkan laki-laki, sehingga kebutuhan dan masalah yang dihadapi perempuan kurang terakomodasi,” ujarnya.
“Istilah seperti ‘buta gender’ atau ‘tidak responsif gender’ muncul untuk menggambarkan kondisi ini, yang dipengaruhi oleh budaya patriarki yang masih kuat,” lanjutnya lagi.
Secara garis besar, peran perempuan dalam rumah tangga petani terbagi menjadi tiga: peran reproduksi (perawatan dan pekerjaan domestik), peran produksi (terlibat dalam seluruh siklus usaha tani, pengambilan keputusan, dan pengelolaan keuangan), serta peran sosial (aktif dalam kelompok tani, koperasi desa, posyandu, dan kegiatan kemasyarakatan lainnya).
Lebih lanjut Prof Anna menyampaikan, isu perempuan petani yang menjadi kepala rumah tangga juga sering terabaikan. Kelompok tani cenderung didominasi oleh kepala rumah tangga laki-laki, padahal banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga.
Penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian sebagai ujung tombak pembangunan di pedesaan belum sepenuhnya responsif gender. Misalnya, hanya mengundang petani laki-laki dan pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki.
“Padahal, perempuan seharusnya memiliki akses informasi dan sumber daya lain, berpartisipasi, dan turut mengontrol yang sama dalam program-program pembangunan, serta mendapatkan manfaat yang adil,” ucapnya.
Perempuan dan Perubahan Iklim
Dalam konteks perubahan iklim, peran perempuan menjadi semakin vital. Prof Anna menegaskan, program-program untuk meningkatkan adaptasi dan resiliensi petani atas dampak perubahan iklim akan gagal jika tidak melibatkan perempuan.
Sebagai contoh, keputusan terkait perubahan pengelolaan usaha tani seperti penentuan pembelian bibit yang tahan dari dampak perubahan iklim, penggunaan modal usaha, dan lain-lain umumnya berada di tangan istri, sehingga keterlibatan mereka dalam penyuluhan menjadi sangat penting.
“Perempuan menjadi pihak yang paling terdampak oleh kegagalan panen dan kesulitan ekonomi keluarga. Bukan sekali dua kali mereka menjadi yang terakhir dalam menikmati sumber daya keluarga,” tegasnya.
Di sisi lain, Prof Anna mengatakan, kondisi ketidaksetaraan gender dan pandangan negatif terhadap kemampuan kepemimpinan juga kerap menghambat partisipasi dan suara perempuan.
“Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan dan pengakuan atas kontribusi mereka yang tidak terlihat menjadi sangat penting dalam pembangunan pertanian yang inklusif dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Regulasi Belum Optimal
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pengarusutamaan Gender sebenarnya telah mengamanatkan bahwa seluruh kebijakan dan program pemerintah harus memperhatikan potensi, masalah, kebutuhan, dan aspirasi baik laki-laki maupun perempuan dalam setiap tahapannya.
Tujuan akhirnya adalah mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Akan tetapi, sebut Prof Anna, implementasinya di berbagai sektor belum optimal.
Ia juga membandingkan program penyuluhan pertanian yang didanai oleh lembaga internasional, pemerintah pusat, dan program rutin. Hasilnya, program yang didanai dari luar negeri cenderung lebih memperhatikan keterlibatan perempuan melalui unsur afirmasi.
Sementara program nasional belum secara eksplisit mencantumkan hal tersebut. Lebih lagi, banyak program rutin tidak mempertimbangkan kondisi perempuan, misalnya dalam penjadwalan kegiatan penyuluhan.
Inovasi Responsif Gender
Prof Anna Fatchiya menyoroti aspek inovasi dan teknologi bagi perempuan tani. Ia menuturkan, teknologi pertanian yang dihasilkan perlu mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan perempuan.
Contohnya, alat penyemprot hama penyakit tanaman sawit terlalu berat sehingga tidak sesuai untuk pekerja perempuan yang dominan bekerja di perkebunan.
“Inovasi yang responsif gender, baik dari segi ergonomi maupun kemudahan penggunaan bagi laki-laki dan perempuan, menjadi sangat penting,” jelasnya.
Untuk meningkatkan responsivitas gender dalam kebijakan dan program pembangunan, terutama di sektor pertanian, Prof Anna menyarankan beberapa langkah kunci.
Pertama, komitmen kuat dari para pemimpin di semua tingkatan pemerintahan dan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam program pembangunan. Kedua, pengumpulan dan analisis data terpilah gender yang akurat untuk mengidentifikasi perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (aparatur pemerintah dan pihak terkait) dalam pemahaman konsep kesetaraan dan keadilan gender, termasuk keseimbangan representasi gender dalam tim penyuluh.
Keempat, penyediaan sarana dan prasarana yang responsif gender, yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua. Terakhir, implementasi Anggaran Responsif Gender (ARG) yang memastikan alokasi dana mempertimbangkan kebutuhan dan prioritas laki-laki maupun perempuan. (AS)