Monitoring Pertama KONSURV 2024, Ungkap Tantangan dan Upaya Pemeliharaan Mangrove di Desa Mundu
Tim monitoring KONSURV 2024 yang terdiri dari anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (Himiteka) IPB University melakukan monitoring pertama terhadap inisiatif penanaman mangrove di Desa Mundu, Cirebon, Jawa Barat. Pemantauan ini bertujuan untuk menilai keberhasilan penanaman dan pengaruh tindakan konservasi yang dilakukan sejak Juli 2024.
Dari hasil pemantauan, ditemukan 763 bibit mangrove yang mati, yang sebagian besar disebabkan oleh kejadian alam seperti tenggelam dan ombak besar. Untuk mengatasi hal ini, tim monitoring menanam kembali 200 bibit dengan strategi penanaman satu ajir untuk dua propagul, dan 113 bibit selanjutnya akan ditanam pada hari berikutnya dengan bantuan kru dari Desa Mundu.
Selain itu, sampah, terutama serpihan bambu, terlihat menumpuk di muara sungai-sungai lainnya sehingga memengaruhi kondisi lingkungan Desa Mundu.
Nursin, pemimpin komunitas mangrove Desa Mundu, menyatakan bahwa pengembangan wisata mangrove di daerah ini masih sangat penting karena Cirebon merupakan titik persinggahan yang signifikan. Tempat ini dikunjungi sekitar 1.200 pengunjung setiap harinya.
“Hal ini membuktikan bahwa potensi wisata mangrove di Mundu perlu dikembangkan. Namun, fokus utamanya adalah peningkatan kualitas infrastruktur,” ujar Nursin. Menurutnya, kendala terbesar saat ini adalah kurangnya akses infrastruktur antara Mundu Pesisir dan muara sungai yang belum terhubung karena miskomunikasi saat pembangunan.
Kegiatan ini juga mengidentifikasi upaya untuk meningkatkan kualitas ajir sebagai langkah perbaikan berikutnya, yang dijadwalkan pada bulan Maret 2025. Upaya konservasi ini diproyeksikan dapat dilakukan tanpa menambah luas area penanaman hingga bibit yang ada mencapai potensi penuhnya.
“KONSURV tidak boleh berhenti pada penanaman awal. Harus ada kesinambungan agar manfaat konservasi dapat dirasakan dalam 4-5 tahun ke depan,” ucap Vania Zafira, Ketua KONSURV 2024.
Desa Mundu telah mengalami perkembangan ekonomi yang substansial selama sepuluh tahun terakhir. Jumlah kapal nelayan telah menurun dari 42 pada tahun 2010 menjadi kurang dari sepuluh saat ini.
Penurunan pendapatan dan pajak sebesar 2,5 persen dianggap memberatkan para nelayan, terutama mereka yang memiliki kapal lebih besar dari 30 gross tonnage (GT). Saat ini, sebagian besar masyarakat di sana memilih bekerja sebagai kuli proyek atau sebagai tenaga kerja indonesia (TKI).
“Berdasarkan hasil monitoring ini, kami dan masyarakat setempat berharap dapat terus memperkuat kerja sama dalam menjaga mangrove dan infrastruktur yang mendukung ekowisata,” tandas Vania. (*/Rz)