Tembus Nature, Guru Besar Teknologi Pangan IPB University Kenalkan Oncom Hingga Mancanegara

Tembus Nature, Guru Besar Teknologi Pangan IPB University Kenalkan Oncom Hingga Mancanegara

Tembus Nature, Guru Besar Teknologi Pangan IPB University Kenalkan Oncom Hingga Mancanegara
Berita

Oncom merupakan salah satu produk pangan tradisional yang dibuat melalui proses fermentasi. Makanan asli Jawa Barat ini terbuat dari waste, atau sisa dari pembuatan produk lain yang tidak terpakai.

Melihat adanya potensi oncom, salah satu Guru Besar IPB University, Prof C Hanny Wijaya, tertarik mendedikasikan waktunya untuk meneliti oncom. Bahkan, hasil penelitiannya sampai terpublikasikan di Nature, sebuah jurnal ilmiah terkemuka yang banyak digemari kalangan akademik saat ini. Simak kisahnya, yuk!

“Ada satu sisi yang saya khawatir akan hilang, yaitu kearifan dan sumber daya alam (SDA) lokal yang selama ini tidak tertulis. Di satu sisi, hal-hal tersebut ‘berserakan’ di Indonesia, sementara orang Indonesia sendiri tidak peduli,” jelas Prof C Hanny Wijaya, Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB University saat ditanya alasan melakukan riset tentang oncom.

Lulusan program doktoral dari Universitas Hokkaido, Jepang, tersebut tidak ingin kearifan lokal yang ada dibuang percuma, karena ‘kedunguan’ warga lokal yang sibuk mengurus sesuatu di luar kemampuannya.

“Memang butuh waktu untuk menarik minat orang-orang terhadap sesuatu yang bersifat lokal dan tradisional. Tapi nyatanya penelitian ini bisa masuk Nature. Dengan begitu, mau tidak mau orang luar negeri akan membaca dan mengenal kekayaan lokal kita. From local to the world,” lanjutnya.

Prof Hanny mengaku mendalami oncom bermula dari ketertarikannya terhadap warna oranye dari oncom. Apalagi saat ini dengan tren pengolahan pangan zero waste, oncom jadi memiliki double benefit, karena yang dipakai saat pembuatan oncom adalah waste, misal ampas tahu, ampas perasan kacang merah, onggok, bahkan kulit kedelai.

Selain itu, Indonesia adalah inkubator terbesar di dunia. Letaknya yang berada di khatulistiwa, membuat suhunya seperti di inkubator: kelembaban tinggi, cenderung tidak mengenal musim, serta memiliki banyak pasokan energi dari matahari. Keadaan ini memberikan keuntungan untuk mengembangkan pangan fermentasi.

“Yang harus kita pahami, kekayaan ini sebenarnya bukan hanya milik Indonesia, tapi juga milik dunia, world heritage. Saya melihat banyak sekali keunggulan yang selama ini tidak kita hargai dari pangan tradisional kita. Yang lebih penting lagi, dengan mempelajari secara ilmiah, keunggulan dari produk pangan lokal lebih tervalidasi dan lebih mudah diterima oleh global, serta terdokumentasikan,” ujarnya.

Ia juga berpesan, bahwa suatu penelitian itu tidak harus yang canggih luar bisa, tapi sesuatu yang unik jika diteliti dengan pendekatan yang global, pasti bisa menghasilkan sesuatu yang prestisius. “Intinya, jangan berkecil hati kalau ide kita ditolak dan disepelekan orang lain,” pesannya. (Fatin/Rz)