Perguruan Tinggi dan Industrialisasi Baru
Wajah industrialiasi dunia semakin berubah seiring Revolusi Industri (RI) 4.0. Perusahaan-perusahaan besar dengan gaya lama makin terancam oleh perusahaan baru yang lebih inovatif. Kebutuhan skill baru seperti kecerdasan buatan, data analytic, machine learning, dan teknologi digital lainnya makin nyata. Begitu pula soft skill terkait complex problem solving, berpikir kritis, kolaborasi dan komunikasi juga makin dibutuhkan.
Akibat RI 4.0 tersebut, sampai dengan 2025 ada 97 juta pekerjaan baru yang akan menggantikan 85 juta pekerjaan lama (WEF, 2020). Ketika dunia usaha dan dunia industri (DUDI) makin kencang berlari dengan teknologi baru yang memerlukan kompetensi dan skill baru, bagaimana kesiapan perguruan tinggi (PT) untuk mengimbangi laju industrialisasi tersebut? Nampaknya kita perlu mendudukkan kembali posisi PT dan DUDI di tengah lansekap baru perubahan.
Microcredentials dan Kebutuhan Skill Baru
Apakah lulusan PT sudah memenuhi harapan DUDI? Tentu tidak semua PT siap menghasilkan lulusan dengan skill dan kompetensi baru yang dibutuhkan industri. Karena kebutuhan skill baru tersebut, DUDI menyelenggarakan pendidikan alternatif melalui microcredentials.
Microcredentials adalah bentuk sertifikasi kompetensi yang diperoleh mahasiswa setelah melaksanakan proses pembelajaran praktik terhadap serangkaian keterampilan, pengetahuan, dan sikap dalam waktu yang relatif singkat. Kini banyak perusahaan di dunia yang menyelenggarakan microcredentials ini dan mensyaratkan sertifikat profesional dalam perekrutan. Google Career Certiticates adalah contoh program sertifikasi hingga 6 bulan untuk keahlian baru, dan menjanjikan dukungan dalam pencarian kerja untuk posisi Analis Data, IT Support, dan UX Designers.
Hasil survei Coursera (2023) di 11 negara menunjukkan 88% pengguna lulusan meyakini sertifikat profesional akan menjadi dokumen penting dalam pelamaran kerja. Mereka juga masih percaya dengan PT, dan menganggap gelar masih penting. Bahkan menurutnya 37% pekerjaan berketrampilan sedang (pendidikan SMK dan vokasi kurang dari 4 tahun) masih memerlukan gelar. Sementara itu sekitar 90% mahasiswa juga setuju bahwa sertifikat profesional akan membantu mengamankan pekerjaan ketika lulus nantinya. Alasan mahasiswa mengambil sertikat profesional adalah karena sertifikasi tersebut dimasukkan dalam kredit mata kuliah (56%).
Bagaimana respon pimpinan PT terkait microcredentials? Di Amerika Serikat, 95% pimpinan PT setuju bahwa microcredentials menjadi bagian dari pendidikan tinggi mendatang agar makin relevan dengan dunia kerja, meski hingga saat ini di dunia hanya 56% yang memiliki proses evaluasi tingkat relevansi tersebut. Dari survei tersebut disimpukan bahwa pendidikan bergelar yang dilengkapi dengan non-gelar (sertifikat profesional) inilah yang dikehendaki dunia industri.
Namun jenis skill yang akan diperoleh melalui microcredential juga perlu terus dilengkapi. Memang saat ini skill yang tumbuh berkembang di setiap negara berbeda-beda. Laporan the Future of Skills (2019) menunjukkan bahwa skill yang tumbuh di Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan adalah kecerdasan buatan. Sementara blockchain tumbuh di Singapura dan Hongkong, dan robotic berkembang di India. Sementara yang tumbuh di Indonesia dan Filipina adalah social media marketing. Peta skill setiap negara tersebut bisa menjadi cerminan kedalaman penguasaan teknologi 4.0 tersebut.
The Valley of Death dan Tumbuhnya Inovator
Selain keterkaitan lulusan PT dengan dunia kerja, perlu dilihat pula keterkaitan inovasi PT terhadap industri. Di dunia ini ditemukan istilah the valley of death atau “lembah kematian”. Istilah ini menggambarkan kesenjangan intensitas PT pada riset dasar dan terapan dan intensitas DUDI dalam pengembangan produk. Tentu agenda mengatasi “lembah kematian” tersebut adalah penguatan jembatan komunikasi dan kolaborasi PT dan DUDI serta mendorong tumbuhnya banyak inovator yang bisa memahami DUDI. Hal ini karena selama ini DUDI menganggap inovasi PT tidak kompatibel dengan kebutuhan industri, dan PT menganggap DUDI tidak menghargai riset dan inovasi PT. Sikap saling menyalahkan ini harus diakhiri.
Bagaimanapun juga inovasi yang unggul tersebut sangat tergantung kualitas riset, dan kualitas riset tergantung pada sumberdaya riset, yaitu peneliti dan anggaran. Menurut bank Dunia (2020), jumlah peneliti per satu juta penduduk Indonesia hanya 216, bandingkan dengan Tiongkok (1307), Thailand (1350), Malaysia (2397), Jepang (5331), Singapore (6803), dan Korea Selatan (7980).
Sementara itu perbandingan dari sisi persentase anggaran riset per PDB sebagai berikut: Indonesia (0,3), Thailand (1,0), Malaysia (1,4), Singapore (1,9), Tiongkok (3,1), Jepang (3,2), dan Korea Selatan (4,2). Kalau kita bedah lagi ternyata di negara lain sudah mulai ada pergeseran sumberdana riset dari pemerintah ke swasta. Persentase dana riset swasta beberapa negara sebagai berikut: Indonesia (12), Malaysia (38), Singapore (52), Tiongkok (77), dan Korea Selatan (77), dan Thailand (81).
Politik anggaran untuk riset perlu diperkuat agar makin banyak peneliti dan inovator yang produktif menghilirisasi inovasinya.
Kebutuhan Teknopreneur Baru
Peran lain PT untuk industrialisasi adalah menghasilkan lulusan berwirausaha, mengingat menurut pemerintah rasio kewirausahaan di Indonesia masih relatif rendah yaitu 3,74 persen. Bandingkan dengan Thailand (4,2), Malaysia (4,7), dan Singapura (8,7). Namun lebih dari itu tipe wirausaha baru lulusan PT mestinya lebih menggambarkan sosok teknopreneur, yakni yang mampu mendayagunakan inovasi PT untuk menjadi industri baru. Jadi hadirnya teknopreneur ini akan bermanfaat ganda: menjadi pengguna inovasi PT sekaligus menjadi sumber wirausaha baru.
Di IPB, hasil talent mapping menunjukkan mahasiswa baru yang ingin menjadi pengusaha sebanyak 43%, profesional 41%, birokrat 10% dan peneliti 6%. Ini sangat menggembirakan sehingga kita kembangkan Start Up School, Young Agripreneur Camp, dan lalu inkubator bisnis di Start Up Center IPB. Dalam kerangka makro, tumbuhnya teknopreneur baru ini bisa mengurangi ketimpangan ekonomi yang selama ini ada.
Agenda Transformasi
Untuk menghasilkan lulusan unggul adaptif, inovator produktif, dan teknopreneur baru handal di atas, diperlukan transformasi ekosistem PT menyeluruh, baik kurikulum, agenda riset, maupun tata kelola.
Pertama, untuk transformasi kurikulum, targetnya adalah untuk menghasilkan lulusan dengan skill baru yang mampu merespons perubahan dan kompatibel dengan kebutuhan industri. Cirinya terletak pada kekuatan skill baru, pola pikir tumbuh, kreatif, orientasi future practice, jiwa kepemimpinan, serta fondasi integritas yang kuat. Dunia industri sangat memerlukan lulusan dengan ciri tersebut baik sebagai pekerja maupun teknopreneur. Ciri-ciri dasar tersebut juga mestinya melekat pada sosok inovator yang produktif menghilirisasi inovasinya. Ini semua memerlukan ekosistem pendidikan yang kondusif yang melibatkan DUDI, baik dalam penyusunan kurikulum, program magang bersertifikat, microcredentials, teaching industry, serta pengembangan start-up baru.
Kedua, untuk transformasi riset dan inovasi di tingkat hulu perlu disiapkan payung riset bersama DUDI. Pada tingkat hilir perlu penguatan Science Techno Park (STP) agar tercipta suasana industri di kampus. Kemudian kolaborasi hilirisasi inovasi diintensifkan melalui skema licensing, spin off, maupun joint venture. Program Matching Fund Kedaireka Kemdikbudristek merupakan jembatan yang pas kolaborasi ini. Tentu dengan ragam inovasi yang menghasilkan produk subtitusi impor dan promosi ekspor akan sangat membantu bangkitnya industrialisasi di Indonesia.
Karena itu, berbagai terobosan ekosistem baru tata kelola PT yang menjamin kolaborasi saling menguntungkan antara PT dan DUDI harus dilakukan. Bila transformasi ini tidak dilakukan jangan-jangan tidak hanya the valley of death yang ada tapi yang terjadi adalah the death of university sekaligus deindustrialisasi. Namun bila transformasi ini dilakukan secara menyeluruh, maka PT akan tetap tegak di tengah arus besar perubahan disruptif dan bahkan menjadi sumber inspirasi bagi perubahan baru mendatang.
Bogor, 28 Juni 2023
Arif Satria
Rektor IPB University; Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (2021-2023)