Guru Besar IPB: Pendekatan Interaksi Zat Gizi dan Ekologi Malnutrisi untuk Atasi Masalah Gizi di Indonesia

Guru Besar IPB: Pendekatan Interaksi Zat Gizi dan Ekologi Malnutrisi untuk Atasi Masalah Gizi di Indonesia

Guru Besar IPB Pendekatan Interaksi Zat Gizi dan Ekologi Malnutrisi untuk Atasi Masalah Gizi di Indonesia
Riset

Prof Rimbawan, Guru Besar IPB University bidang Biokimia Gizi menerangkan bahwa kemungkinan defisiensi multiple micronutrients di Indonesia cukup tinggi. Dengan demikian, diperlukan program yang mempertimbangkan pemenuhan beberapa zat gizi mikro dan interaksinya dalam proses metabolisme.

“Memahami keterkaitan antara defisiensi suatu zat gizi dan interaksinya dengan zat gizi lain sangat penting untuk menentukan strategi penanganan yang tepat seperti pemberian suplemen multi zat gizi dengan mempertimbangan interaksi antar zat gizi,” kata Prof Rimbawan, dosen IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Ia menyebut, pendekatan ini diperlukan mengingat masalah gizi di Indonesia sangat kompleks dan tidak hanya menyangkut masalah gizi yang kurang tetapi juga gizi yang lebih dan kelaparan tersembunyi yaitu masalah kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

“Penelitian terakhir menunjukkan bahwa permasalahan kekurangan zat gizi mikro juga dapat dialami oleh orang yang mengalami gizi lebih seperti obesitas. Kondisi ini menunjukkan masalah gizi di Indonesia merupakan “Multiple Burdens of Malnutrition,” kata Prof Rimbawan.

Dengan demikian, lanjutnya, masalah gizi tidak hanya diatasi dengan paradigma sederhana seperti “terlalu banyak atau terlalu sedikit”. Pendekatan yang komprehensif diperlukan untuk menangani masalah gizi di Indonesia, termasuk di dalamnya mempertimbangkan kemungkinan adanya masalah multiple nutrient deficiencies, interaksi antara berbagai zat gizi serta kondisi ekologi yang mempengaruhi kejadian malnutrisi.

Prof Rimbawan menerangkan, untuk mengatasi masalah gizi tersebut diperlukan pendekatan ekologi malnutrisi. Ekologi malnutrisi merupakan pendekatan yang mempertimbangkan aspek ekologi meliputi faktor internal seperti gizi, genetik, kelompok umur, dan kondisi fisiologis. Di samping itu, pendekatan ini juga mempertimbangkan faktor eksternal seperti lingkungan rumah, sekolah, masyarakat, termasuk sistem pangan dan ketahanan pangan.

“Kita juga perlu melakukan intervensi gizi berupa fortifikasi dan suplementasi, namun saat ini beberapa program fortifikasi dan suplementasi di Indonesia masih berfokus pada penambahan satu zat gizi mikro tertentu seperti fortifikasi iodium pada garam untuk mengatasi gangguan akibat kekurangan iodium atau gondok,” kata Prof Rimbawan.

Terkait intervensi gizi ini, Prof Rimbawan beserta tim berhasil menciptakan ready-to-use therapeutic food (RUTF) bagi balita untuk menanggulangi stunting dan sever acute malnutrition (SAM) atau gizi buruk. Produk RUTF merupakan makanan padat yang diperkaya dengan berbagai zat gizi, termasuk vitamin dan mineral.

“Pengembangan dan penggunaan RUTF turut mempertimbangkan bahan baku lokal dan daya terima balita di Indonesia dengan mempertimbangkan mutu gizi yang baik serta kelengkapan zat gizi sesuai standar internasional,” kata Prof Rimbawan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Prof Rimbawan dan tim, efikasi produk RUTF yang diproduksi secara lokal dibandingkan produk RUTF standar menunjukkan hasil yang positif dan tidak berbeda dengan RUTF standar. Dengan demikian, produk RUTF lokal telah mampu memenuhi standar global dan berpeluang untuk dapat digunakan untuk mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia, khususnya pada balita SAM.

Prof Rimbawan menekankan bahwa edukasi gizi juga merupakan langkah penting dalam mengatasi masalah gizi di Indonesia. Ia mencontohkan, program makan siang yang diikuti dengan edukasi gizi di pesantren di Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten, menunjukkan bahwa dapat meningkatkan status gizi baik para santri dan dapat menurunkan kejadian anemia sebesar 56 persen.

“Masyarakat kita belum sepenuhnya peduli dengan edukasi gizi ini, padahal, setiap makanan kemasan sudah ada label gizi dan pangannya, tetapi mereka belum sepenuhnya memahami hal tersebut,” kata Prof Rimbawan.