Pakar IPB University Temukan Fakta Ketidakseimbangan Informasi Konflik Agraria dan Nasib Warga Rempang

Pakar IPB University Temukan Fakta Ketidakseimbangan Informasi Konflik Agraria dan Nasib Warga Rempang

Pakar IPB University Temukan Fakta Ketidakseimbangan Informasi Konflik Agraria dan Nasib Warga Rempang
Berita

Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Ecocity telah memicu konflik agraria yang kompleks dan berlarut-larut. Pemerintah telah menawarkan relokasi dan kompensasi. Namun, tidak ada dokumen hukum yang menjamin kepastian tersebut.

Hal itu diungkap Dr Rina Mardiana, Dewan Penasihat Pusat Studi Agraria IPB University dalam diskusi daring ‘Suara Lantang Masyarakat Rempang’ yang difasilitasi oleh Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) secara daring via YouTube, Jumat (21/6).

Menurut dia, masyarakat Rempang tetap merasa tidak aman, terpinggirkan, bahkan terancam masa depan kehidupannya. Konflik ini diperburuk dengan regulasi yang tidak mempertimbangkan perlindungan kampung tua dan masyarakat adat.

“Meskipun pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mendukung proyek ini, misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2023, pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan partisipasi masyarakat,” ujar dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB University ini.

Dr Rina yang telah berinteraksi dengan warga Rempang justru melihat fakta berbeda di lapangan soal klaim relokasi dengan janji-janji yang indah. Ia menemukan fakta bahwa rumah relokasi sama sekali belum dibangun.

Melihat fakta tersebut, dalam paparannya ia mengangkat tiga poin terhadap ketidakpastian dan ketidakadilan relokasi yang terjadi. Pertama, nelayan Rempang menolak relokasi karena khawatir kehilangan mata pencaharian dan merusak ekosistem laut. “Pemerintah dinilai tidak transparan dalam perencanaan dan komunikasi proyek yang menyebabkan ketidakpastian tersebut,” ungkapnya.

Kedua, lanjut dia, pembangunan pabrik kaca dan kota baru diperkirakan akan menyebabkan dampak negatif pada ekosistem laut dan memaksa nelayan mencari ikan lebih jauh. Ketiga, terjadi penolakan konsisten dari masyarakat Rempang karena terancam kehilangan tanah leluhur.

Ia juga berinisiatif mengumpulkan berbagai artikel media massa dan video di berbagai media sosial dan menjumpai hal berbeda dengan fakta di lapangan. Dr Rina mengatakan, sejumlah 3.000 berita dari berbagai media dan seluruh rilis yang diterbitkan Badan Pengusahaan (BP) Batam terdapat ketidakseimbangan pemberitaan.

“Jadi pemberitaan mengenai proyek ini didominasi oleh rilis resmi BP Batam yang menonjolkan potensi keuntungan ekonomi tanpa cukup menggambarkan situasi di lapangan,” jelas dia. Rilis ini selanjutnya menjadi satu-satunya sumber informasi yang dikutip dan dirujuk oleh berbagai media arus utama.

“Sementara itu, masyarakat melayu Rempang yang mayoritas adalah nelayan, menghadapi ancaman penggusuran tanpa adanya dialog yang memadai, internet sulit, dan menghadapi kekhawatiran kehilangan tanah, mata pencaharian, serta identitas diri dan budaya, justru tidak banyak diangkat oleh media arus utama,” ungkapnya.

Situasi ini, menurutnya, menciptakan ketidakseimbangan informasi yang dapat memperburuk kepercayaan terhadap pemerintah dan negara dalam menjamin hak-hak warganya. Konflik agraria yang terjadi semakin masif, sistemik, dan struktural.

Selain itu, Dr Rina berujar bahwa sebagian warga yang telah menerima relokasi merasa kecewa karena tidak ada jaminan kehidupan yang layak di tempat baru. Akibatnya, warga memaksa bertahan di kampung asalnya di tengah ancaman penggusuran.

“Klaim banyak warga yang bersedia direlokasi ini juga perlu diperiksa kembali, apakah warga asli Rempang atau warga pulau-pulau kecil di sekitar Rempang atau warga yang dipaksa relokasi? Sebab, banyak fakta hasil investigasi yang menunjukkan manipulasi data dan administrasi terkait jumlah warga yang diklaim menurut BP Batam bersedia direlokasi,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, proyek Rempang Ecocity ini menunjukkan karakteristik penyerobotan lahan atau disebut land grabbing. Menurut dia, terdapat pelanggaran hak asasi manusia, tidak ada ketersediaan informasi yang bebas dan cukup dari masyarakat terdampak. Di samping itu, proyek ini juga mengabaikan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.

“Saya memohon kepada pemerintah untuk mendengar suara Rempang. Diperlukan keterbukaan dan transparansi dan memastikan adanya restorasi untuk masyarakat terdampak,” tutupnya. (MW/Rz)