Pakar IPB University Jelaskan Pemanfaatan Kecerdasan Buatan dalam Mengendalikan Kerbau Liar di Australia

Pakar IPB University Jelaskan Pemanfaatan Kecerdasan Buatan dalam Mengendalikan Kerbau Liar di Australia

Pakar IPB University Jelaskan Pemanfaatan Kecerdasan Buatan dalam Mengendalikan Kerbau Liar di Australia
Riset

Pakar Genetika Ekologi IPB University, Prof Ronny Rachman Noor, mengungkapkan di kawasan Asia kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging sehingga dibudidayakan, namun sayangnya saat ini populasi kerbau dunia menurun secara salah satunya akibat mekanisasi pertanian. Disamping itu kerbau memiliki ciri reproduksi khas yaitu silent heat atau birahi tidak tampak, sehingga menghambat keberhasilan inseminasi buatan pada kerbau.

Dalam sejarah, dahulu Australia pernah mendapat sumbangan kerbau dari Bogor, kini populasi kerbaunya berkembang dengan sangat cepat di alam liar utamanya di kawasan utara Australia. Kawanan kerbau liar ini seringkali menjadi masalah besar terkait kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.

“Populasi kerbau di Australia umumnya menempati wilayah terpencil yang sulit terjangkau, oleh sebab pengawas populasi kerbau liar dilakukan oleh penduduk asli Australia. Salah satu wilayah populasi kerbau liar terbesar di Australia adalah wilayah Arnhem Northern Territory dan teluk Carpentaria di Queensland yang diperkirakan jumlah populasi nya lebih dari 200 ribu ekor,” papar Prof Ronny

Lanjutnya, kondisi ini membuat lembaga penelitian Australia CSIRO dan pemerintah membuat program yang dinamakan Space Cows untuk memonitor populasi kerbau liar dengan memanfaatkan kombinasi teknologi satelit, kecerdasan buatan dan pengetahuan penduduk lokal.

“Penggunaan teknologi kecerdasan buatan diperlukan untuk memprediksi perkembangan populasi ke depan dan juga penyebaran dan pergerakan kerbau liar,” ujarnya.

Menurut Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University ini, program monitoring memang tidaklah mudah dilakukan karena disamping luasnya wilayah yang harus dijangkau juga karena keterpencilan wilayah serta besarnya jumlah populasi yang harus diawasi.

“Sebagai gambaran besarnya skala proyek percontohan pengawasan ini wilayah yang harus diawasi mencapai 22 ribu kilometer di wilayah terpencil di Australia Utara dan harus menangkap 1000 kerbau dan sapi liar untuk diberi nomor dan dipasang alat pelacak,” tuturnya.

Menurut Prof Ronny, proyek percontohan ini harus menggunakan kendaraan khusus dan helikopter untuk mengumpulkan kerbau liar dan dipasang alat pelacak Global Positioning System (GPS) sebelum dilepaskan kembali. Dengan adanya proyek percontohan ini pemerintah Australia dapat mengamati pergerakan dan perkembangan populasi kerbau liar untuk mengontrol dan mengendalikan populasinya.

“Pemahaman akan perkembangbiakan dan juga pergerakan kerbau liar ini sangat vital untuk diketahui untuk mencegah ledakan populasi dan invasi kerbau liar ini ke wilayah peternakan,” katanya

Populasi kerbau liar dalam jumlah besar ini telah berubah menjadi hama karena menginvasi wilayah yang memiliki sumber air sehingga mempengaruhi ketersediaan air dan juga ketersediaan pakan rumput liar bagi peternakan komersil.

Ia menjelaskan, Australia yang memiliki wilayah sangat luas saat ini disamping menghadapi masalah kerbau liar juga menghadapi masalah sapi liar, babi liar, kelinci liar yang berdampak sangat besar bagi peternakan Australia yang selama ini menjadi andalan penghasil devisa.

“Oleh sebab itu pengendalian populasi kerbau liar dengan memanfaatkan teknologi mutakhir diharapkan menjadi kunci untuk mengontrol populasinya agar dapat terkendali dan tidak merugikan dan menyebabkan degradasi lahan,” ujar Prof Ronny. (*/Lp)