Pakar Teknologi Pangan IPB University: Beras Plastik Tidak Masuk Akal

Pakar Teknologi Pangan IPB University: Beras Plastik Tidak Masuk Akal

Pakar Teknologi Pangan IPB University: Beras Plastik Tidak Masuk Akal
Berita

Menanggapi isu beras plastik yang tengah jadi perbincangan, Pakar Teknologi Pangan IPB University, Prof Slamet Budijanto mengatakan bahwa yang diklaim selama ini sebagai beras plastik itu adalah hoaks. Bahkan, kalaupun benar beras plastik ada, itu tidak masuk akal.

“Sebagai peneliti, saya bisa memastikan bahwa yang diklaim sebagai beras plastik itu hoaks. Itu adalah butiran/biji plastik, bukan beras,” terangnya saat diwawancara di kantornya, Kamis (12/10).

Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University itu menegaskan, semestinya istilah beras plastik itu tidak ada. Yang selama ini ada adalah biji plastik, bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk bisa menyerupai beras. “Yang viral itu sebenarnya biji plastik, tapi dikasih nama beras plastik. Jadi itu bukan beras,” ia menekankan.

Menurut dia, kalaupun ada yang membuat produk beras dari plastik, hal itu tidak masuk akal. Sebab, untuk membuat biji plastik membutuhkan biaya produksi yang jauh lebih mahal dari harga jual beras saat ini.

Ia menyebut, harga satu kilogram biji plastik dari hasil daur ulang (recycle) saja sudah mencapai Rp 20.000. Lebih mahal dibanding beras premium sekalipun yang saat ini kisaran harganya Rp 15.000.

“Anda bayangkan, beras premium saja paling Rp 12.000 sampai Rp 15.000. Kalau hasil plastik recycle itu kemudian dibentuk seperti beras, kalau mau untung, mau dijual berapa? Ini jelas tidak masuk akal,” jelasnya.

Pada beberapa kasus, dalam pembuatan beras analog menggunakan gliceryn monostearat (GMS) yang merupakan produk turunan sawit. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai ‘plasticizer’ yang berfungsi supaya tidak lengket dan lebih kompak produk beras analognya.

“Bisa jadi istilah ini yang disalahartikan sebagai plastik. Jika iya, persepsi yang salah ini harus diluruskan,” ulasnya.

Ia berpesan, kejadian seperti ini bisa menjadi pelajaran agar masyarakat lebih teliti dan kritis menanggapi suatu isu. Terlebih di era banjir informasi seperti sekarang, berpikir kritis merupakan modal penting dalam memilah benar tidaknya sebuah berita.

“Jadi, di era keterbukaan informasi ini, knowledge kita harus dikuatkan, sehingga kalau ada isu semacam ini, kita tidak termakan berita hoaks. Tanpa pengetahuan yang cukup, kita tidak akan bisa memfilter mana informasi yang benar dan mana yang salah, masuk akal atau tidak. Karena itu berpikir kritis menjadi penting,” ucap Dekan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB University ini.

Prof Slamet sendiri merupakan sosok di balik inovasi beras analog. Beras buatannya itu berbahan baku bukan padi, melainkan dari beragam sumber pangan lain seperti jagung, ubi jalar, talas, sorgum dan lainnya. Meski bukan dari padi, beras analog justru bisa menjadi alternatif pangan selain beras dan memiliki segudang manfaat bagi kesehatan. (Rz)