Hama Gurem dan Janda Pirang Ancam Petani Bawang Merah, IPB University Terjunkan Tim Ahli

Hama Gurem dan Janda Pirang Ancam Petani Bawang Merah, IPB University Terjunkan Tim Ahli

Hama Gurem dan Janda Pirang Ancam Petani Bawang Merah, IPB University Terjunkan Tim Ahli
Riset

Di tengah harga bawang merah yang belum juga membaik, hama gurem menambah derita petani di sentra-sentra bawang merah seperti Brebes, Nganjuk, dan Kulonprogo.

Merespons hal tersebut, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB University menerjunkan tim ahli Klinik Tanaman pada Rabu (11/10) hingga Jumat (13/10) ke Brebes dan Tegal, Jawa Tengah. Investigasi lapangan ini akan dilanjutkan ke sentra bawang lain seperti Nganjuk dan sekitarnya pada minggu berikutnya.

Hama yang baru pertama kali dikeluhkan petani pada musim tanam ini diperkirakan menimbulkan kerugian lebih dari 60 persen jika menyerang bawang berumur sekitar 35 hari. Bahkan, serangan hama itu dapat merugikan hingga 100 persen bila terjadi lebih awal pada umur bawang sekitar 25 hari.

Kepala Klinik Tanaman IPB University, Bonjok Istiaji SP, MSi memaparkan, hasil temuan tim di lapangan menunjukkan bahwa yang dimaksud gurem atau mreki kemungkinan adalah serangga thrips. Hewan berukuran panjang kurang lebih 1 milimeter ini memang sangat tinggi populasinya pada bawang yang bergejala menguning dan mengering seolah-olah tanaman kekurangan air.

“Gejala ini teramati pada bawang berumur 35-40 hari. Gejalanya terlihat merata dan tanaman tidak dapat hidup lagi sehingga terpaksa dipanen muda dengan nilai ekonomi merosot hingga kurang dari sepertiga kondisi normal,” urainya.

Meskipun demikian, tim ahli masih belum sepenuhnya yakin bahwa thrips adalah penyebab dari gejala yang disebut gurem. “Memang benar bahwa populasi thrips sangat tinggi pada tanaman yang bergejala, lebih dari 100 ekor per rumpun bawang. Namun ada gejala lain yang bukan gejala thrips pada umumnya. Jadi dapat saja justru thrips datang setelah tanaman rusak alias invasi sekunder,” jelas Bonjok Istiaji yang juga anggota tim ahli.

Kemungkinan lain adalah thrips merupakan vektor patogen, seperti virus atau cendawan sehingga serangannya memang cukup berat dan merata.

“Yang jelas, kejadian ini memang baru pertama kali dihadapi petani bawang di Indonesia. Sejumlah sampel akan kami bawa ke laboratorium di IPB University untuk diteliti lebih lanjut,” kata dia.

Dr Dewi Sartiami, anggota tim ahli lainnya menuturkan bahwa thrips yang ditemukan di lapangan secara morfologis berbeda dengan spesies thrips yang biasa ditemukan pada bawang yaitu Thrips tabaci. “Kami akan pastikan lagi spesiesnya di laboratorium dengan peralatan yang lebih memadai, termasuk identifikasi molekuler,” tambahnya.

Belum selesai dengan hama gurem, petani Brebes juga mengeluhkan penyakit bawang yang mereka sebut janda pirang. Gejalanya adalah daun menguning serempak, tetapi umbinya tidak membusuk.

Setelah dikonfirmasi di lapangan, pada tanaman bergejala janda pirang juga ditemukan populasi thrips. Dengan demikian tim ahli IPB University untuk sementara menduga bahwa penyakit janda pirang berkaitan dengan hama gurem.

Hanya saja, tanaman yang terserang di Brebes berumur lebih muda, yaitu sekitar 25 hari dan belum membentuk umbi, sehingga kerugiannya dapat mencapai 100 persen atau puso karena bawang menjadi tidak dapat dipanen.

Dalam investigasi lapangan selama tiga hari tersebut, tim ahli Klinik Tanaman IPB University mengunjungi hamparan pertanaman bawang merah di Kecamatan Wanasari dan Jatibarang di Kabupaten Brebes dan Kecamatan Dukuhwaru di Kabupaten Tegal. Tim yang terdiri atas sejumlah dosen Departemen Proteksi Tanaman IPB University tersebut merupakan ahli-ahli serangga, virus, cendawan, nematoda, dan bakteri.

Tim ahli juga bekerja sama dengan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Kementerian Pertanian dan jaringan petani mitra IPB University. Selain terjun langsung di lahan secara bersama-sama, sejumlah sampel bawang juga sedang dikirimkan dari Nganjuk dan Kulonprogo baik oleh petugas pengendali organisme pengganggu tanaman (OPT) maupun kelompok tani ke IPB University untuk penelitian lebih mendalam.

Dekan Fakultas Pertanian IPB University, Prof Suryo Wiyono mengatakan, ”Kegiatan ini adalah tradisi IPB University, khususnya Fakultas Pertanian, untuk selalu hadir dan tidak membiarkan petani berjuang sendirian. Setelah investigasi lapangan dan quick analysis di laboratorium, tim akan segera merumuskan rekomendasi pengendalian dan langkah-langkah lain yang perlu diambil, tentu saja dengan melibatkan instansi terkait.”

Dalam waktu sebulan, ia mengharapkan sejumlah media diseminasi yang memuat rumusan rekomendasi dan policy brief selesai disusun. Hal tersebut dapat dijadikan referensi bagi para pengambil kebijakan, khususnya lingkup pertanian. ”Perguruan tinggi sudah seharusnya menjadi bagian dari solusi permasalahan di lapangan,” pungkas Prof Suryo. (*/Rz)