Dr Faroby Falatehan: Jangan Sampai Salah dalam Penerapan Teknologi untuk CSA

Dr Faroby Falatehan: Jangan Sampai Salah dalam Penerapan Teknologi untuk CSA

Dr Faroby Falatehan: Jangan Sampai Salah dalam Penerapan Teknologi untuk CSA
Berita

Dr A Faroby Falatehan, dosen IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) hadir dan menyampaikan pandangannya dalam acara G20-T20 International Conference di India, beberapa waktu lalu.

Konferensi tersebut mengangkat topik Securing Global Food Security through Climate Smart Agriculture, Digital Innovations and New Institutional Governance. Acara ini diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan dan negara seperti Austria, India, Amerika Serikat, Indonesia, Laos, Vietnam, Jepang dan Australia.

Pada materi ‘Agri-Business Strategies For Climate-Smart Agriculture (CSA) Approaches’, Dr Faroby menekankan bahwa dalam pendekatan CSA perlu mempertimbangkan penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi di lapangan, seperti komoditas, keberadaan jaringan listrik dan internet serta pendanaannya.

“Jangan salah melakukan kombinasinya. Jika tidak tepat, maka akan memengaruhi keberlangsungan penerapan teknologi ini dalam jangka panjang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dr Faroby membandingkan beberapa teknologi yang dapat dipakai oleh petani dalam melakukan usahanya, seperti teknologi drip irrigation, precision technologi dan penggunaan kearifan lokal (local wisdom), yaitu penggunaan teknologi yang spesifik berdasarkan lokasi. Berbagai teknologi ini digunakan dalam usaha untuk dapat meningkatkan pendapatan serta untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

“Jika dilihat dari perbandingan teknologi yang ada, penggunaan teknologi presisi mendapatkan hasil yang paling akurat dibandingkan dengan lainnya. Namun, memiliki biaya investasi yang tinggi. Sementara penggunaan teknologi tinggi, akan lebih menguntungkan jika dimanfaatkan untuk komoditi yang memiliki nilai jual tinggi,” paparnya.

Dalam penerapan teknologi yang presisi, untuk mendapatkan data yang akurat dan realtime, diperlukan teknologi modern seperti drone, sensor dan internet. Di sisi lain, penerapannya memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang memahami teknologi smart agriculture, tidak saja mengenai mekanisasi tetapi juga penggunaan internet of thing (IoT), seperti artificial intelligence (AI), sensor dan connectivity.

Untuk semi otomatis, diperlukan SDM yang memahami teknologi mekanisasi bagi pertanian yang modern. “Sementara, sebagian dari masyarakat lebih memilih penggunaan teknologi yang spesifik dengan kondisi lokal. Pada model ini, diperlukan pengetahuan yang tinggi mengenai teknologi pertanian. Selain itu, biaya pun lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan teknologi IoT,” pungkasnya.

Konsep CSA dikenalkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2013. CSA adalah suatu sistem pertanian yang mentransformasikan, mengarahkan dan memandu upaya dan tindakan agar pertanian tetap tumbuh. Konsep ini dinilai mampu menjaga stabilitas ketahanan pangan dan adaptif terhadap perubahan iklim.

Di Indonesia, pendekatan ini dikembangkan dalam bentuk Pertanian Cerdas Iklim Inovatif (PCII) berbasis pertanian modern dan presisi yang mengacu pada tiga pilar utama, yaitu adaptasi, mitigasi dan produktivitas. Salah satu proyek terkait CSA adalah Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project (SIMURP). (far/Rz)