Mahasiswa IPB University: Dulu Petani Kasepuhan Ciptagelar Bisa Baca Pola Musim Tanam, Sekarang Tidak

Mahasiswa IPB University: Dulu Petani Kasepuhan Ciptagelar Bisa Baca Pola Musim Tanam, Sekarang Tidak

mahasiswa-ipb-university-dulu-petani-kasepuhan-ciptagelar-bisa-baca-pola-musim-tanam-sekarang-tidak-news
Riset

Untuk menentukan waktu tanam, petani Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat melihat bintang Kerti (Pleyades) dan Kidang (Orion) saat pagi hari sekitar jam 03.00 sampai jam 04.00. Menurut petinggi adat Kasepuhan, dahulu pola musim selalu terbaca. Ada tahun kering dan tahun basah, ada juga tahun yang banyak anginnya. 

“Kalau sekarang sudah tidak sesuai lagi, kadang hujan di tengah-tengah kemarau, kadang kemarau panjang bahkan musim hujan panjang. Langkah adaptasi yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yaitu dengan mengganti varietas padi yang ditanam dengan varietas yang tahan kering saat musim kemarau berkepanjangan dan yang sesuai dengan tipe tanah masing-masing lahan,” ujarnya kepada mahasiswa IPB University yang sedang melakukan riset tentang perubahan iklim.

Di Indonesia, dalam 30 tahun terakhir telah terjadi beberapa kali kondisi iklim ekstrim ditandai oleh frekuensi variabilitas iklim yang semakin tinggi lalu menyebabkan bencana seperti banjir dan kekeringan. Fenomena gagal panen akibat banjir dan kekeringan di Indonesia pernah terjadi di berbagai wilayah seperti Nusa Tenggara, Kabupaten Demak, bahkan Jawa Barat. 

Kondisi tersebut menginisiasi Ahmad Juang Setiawan, Felia Rizky Aulia, dan Cindi Amelina dari Program Studi Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) melakukan riset berjudul Menghadapi Perubahan Iklim dengan Kearifan Lokal (Mimpi Kekal). Riset ini dibimbing oleh Dr. Bambang Dwi Dasanto dari Departemen Geofisika dan Meteorologi.

Menurut Ahmad, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat beradaptasi dari dampak perubahan iklim dengan menggunakan kearifan lokal. Kawasan ini mampu swasembada pangan dalam skala lokal ketika masyarakat lain banyak yang gagal panen akibat bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan kekeringan. Sistem pertanian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar hanya menanam padi satu kali dalam setahun, menggunakan pupuk organik, dan menggunakan tanda-tanda langit sebagai petunjuk menentukan awal musim tanam.

Penelitian yang didanai Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2019 ini membandingkan waktu awal musim tanam menurut kearifan lokal Kasepuhan Ciptagelar dengan waktu awal musim tanam menurut data curah hujan di kawasan tersebut berdasarkan ilmu pertanian modern. 

“Penelitian yang dilakukan yaitu membandingkan waktu awal musim tanam menurut kearifan lokal Kasepuhan Ciptagelar dengan waktu awal musim tanam menurut data curah hujan di kawasan tersebut sebagai acuan berdasarkan ilmu pertanian modern. Hasil wawancara kami dengan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah 68 responden mengatakan terjadi peningkatan suhu dan 95 persen menyatakan terjadi pergeseran musim hujan,” ujarnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 ada kesamaan jadwal penentuan awal musim tanam menurut kearifan lokal Kasepuhan Ciptagelar dan perhitungan menggunakan intensitas curah hujan dengan cara modern.

“Pada tahun 2012 dan 2017, masyarakat kasepuhan menentukan awal musim tanam lebih cepat satu dasarian. Pada tahun 2013 dan 2014, lebih cepat dua dasarian. Pada tahun 2011 dan 2018, lebih cepat tiga dasarian. Pada tahun 2015, lebih cepat empat dasarian dan lebih lama dua dasarian pada tahun 2009 dan 2016. Hal ini terjadi karena penentuan awal musim tanam menurut kearifan lokal Kasepuhan Ciptagelar waktunya selalu sama setiap tahunnya karena mengacu pada perputaran bintang di langit, sedangkan curah hujan yang turun setiap tahun selalu berbeda-beda. Selain itu, adapula kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan Kasepuhan Ciptagelar yang mendukung sistem pertanian yang dilakukan,” ujarnya.(YDI/Zul)