Guru Besar IPB: Teori Fisika Kuantum Baru Terasa Manfaatnya di Era Millenial
Fisika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang memiliki kontribusi paling signifikan bagi peradaban manusia. Salah satu karakter penting fisika, khususnya fisika teori adalah kemampuannya dalam melakukan prediksi terhadap kelakuan sebuah sistem. Fisika mampu memahami dan memberikan deskripsi atas fenomena yang diperlihatkan oleh sistem itu.
Albert Einstein merupakan salah satu sosok terbaik fisikawan teori yang hampir sempurna. Ia memiliki empat modal seorang fisikawan yakni ketaatan pada logika rasional, pemanfaatan matematika dan komputasi, serta memiliki daya imajinatif-intuitif. Einstein mampu memahami fenomena gravitasi melalui teori relativitas umum. Einstein merumuskannya secara imajinatif dan intuitif sehingga mampu menggambarkan manifestasi kelengkungan ruang-waktu yang terbukti mampu memprediksi dinamika benda-benda langit dengan lebih akurat.
“Kontribusi lainnya adalah pada bidang fisika kuantum yang menawarkan konsep kuantum cahaya yang lazim disebut foton dalam menjelaskan eksperimen efek fotolistrik. Temuan ini membawa manusia pada era teknologi digital saat ini,” ujar Prof. Husin Alatas, Guru Besar Fakultas Matematika dan IPA Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam orasi pengukuhan guru besar tetapnya di Gedung Andi Hakim Nasoetion, Kampus IPB Dramaga, (5/5).
Berangkat dari ditemukannya berbagai fenomena yang tidak dapat diprediksi dan dijelaskan oleh perumusan fisika klasik dan kemunculan komputer, maka dalam satu abad belakangan ini fisika telah mengalami empat revolusi yakni fisika kuantum, fisika relativistik, fisika nonlinear dan sains kompleksitas.
Menurutnya fisika kuantum yang ditemukan sekitar satu abad yang lalu, ternyata baru kita nikmati hasilnya sekarang dalam bentuk handphone, proyektor, kamera digital dan lain-lainnya.
“Kamera yang kita pakai sekarang itu teorinya sudah ditemukan Ibnu Haitham pada tahun 1015 M. Kamera berasal dari bahasa Arab “kamara” artinya ruang gelap,” ujarnya.
Sama halnya dengan teori fisika relativistik yang baru sekarang bisa kita nikmati hasilnya dalam bentuk online transportation. Gojek atau Uber dengan mudahnya menemukan posisi konsumen dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Ini membutuhkan sinkronisasi waktu. Hal ini bisa diprediksi dan ditebak jika kita memahami fisika relativitas.
“Ilmu yang dikembangkan ribuan tahun lalu baru bisa dinikmati sekarang. Sama halnya dengan Pedang Damaskus yang tajam dan fleksibel, baru dipahami sekarang sebagai nanoteknologi,” ujarnya.
Menurutnya fisika punya cara pandang sendiri untuk mendeskripsikan sesuatu. Fisika berhubungan dengan sistem yang di dalamnya ada subsistem dan antar subsistem ada hubungan antar satu dan yang lain. Contohnya adalah mendeskripsikan local wisdom Indonesia.
“Itu adalah suatu emergent property dari hubungan masyarakat dengan alam, hubungan orang dengan orang. Bagaimana kita mendeskripsikan local wisdom kita itu berbeda dengan Barat yang hanya menggunakan rasionalitas. Orang Timur menggunakan spiritual dan rasa dan belum tersentuh sains. Bukan berarti kita telan mentah-mentah sains dari Barat. Kita hanya menggunakan metodologi yang mungkin bisa diterapkan. Tantangan kita adalah mendeskripsikan local knowledge menjadi sesuatu yang masuk akal,” ujarnya.
Prof. Husin mencontohkan seorang ekonom yang meneliti Subak bersama dengan anthropologist di Nanyang University Singapura. Selama 20 tahun mereka meneliti Subak untuk membuat sistem money flow antar bank untuk mencegah terjadinya crash. Mereka membuat sebuah model yang meniru orang Bali dalam membagi air.
“Kenapa hal ini bukan kita yang melakukan, padahal Subak punya kita. Oleh karena itu IPB sekarang membuat pusat penelitian transdisiplin,” ujarnya.(zul)