Peneliti IPB: Memperhitungkan Kerugian Pertanian di Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo
Peneliti dari Pusat Studi Bencana (PSB) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan fakta bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan kejadian bencana di sektor pertanian pada daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo. Peneliti yang tergabung dalam tim tersebut adalah Burhanuddin, Euis Sunarti, Natasa Apriana, Nurul Arifiyanti, Firman Rompone, dan Milatul Ulfa. Adapun wilayah DAS yang diteliti mencakup area hulu hingga hilir aliran sungai Bengawan Solo mulai dari Wonogiri, Ngawi, dan Bojonegoro.
Hasilnya, dipaparkan bahwa risiko bencana banjir di DAS terjadi pada tanaman padi dengan tingkat kerugian mulai 7,39 persen hingga 164,57 persen. Sementara itu juga dikemukakan kerugian akibat bencana banjir bagi rumah tangga petani berkisar Rp 5-11 juta per periode tanam. Adapun jika dihitung berdasarkan luasan lahan, kerugian per hektar yang terjadi mencapai 8-35 juta rupiah per hektar lahan pertanian.
Selama empat bulan, mulai April hingga Juli 2016, penelitian dilakukan dengan pengumpulan data primer melalui wawancara dan forum diskusi, serta data pendukung berupa data sekunder. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif serta dilakukan analisis pendapatan usaha tani.
Burhanuddin menyampaikan hasil penelitian wilayah hilir DAS Bengawan Solo merupakan wilayah terparah yang terdampak oleh banjir. Hal tersebut membuat petani yang terendam lahannya beralih menjadi buruh tani di desa lain yang tidak terdampak banjir. Di lain sisi, adanya banjir juga memiliki dampak positif yaitu bertambahnya kesuburan lahan akibat endapan hara yang dibawa oleh aliran air. Sementara itu, di wilayah DAS di Wonogiri, Ngawi dan Bojonegoro, lahan ditanami tanaman non padi saat musim kemarau. Meskipun dapat beralih, ternyata dampak akibat kekeringan lebih tinggi kerugiannya dibandingkan dengan banjir yang terjadi di wilayah tersebut. Petani mengalami kegagalan panen pada tanaman kedelai, jagung, tembakau, cabai, atau ubi kayu yang mereka tanam saat musim kemarau tiba.
Selain analisis secara ekonomi, peneliti juga memberikan sebuah skema untuk penanganan banjir pada tingkat pemerintah Daerah Kabupaten. Di antara upaya yang dilakukan yaitu kesiapsiagaan, penanganan darurat bencana, dan rehabilitasi rekonstruksi. Penjelasan mengenai hal tersebut ialah dengan pembuatan peta rawan bencana dan rencana penanggulangan bencana. Juga dilakukan pembentukan posko bencana di setiap kecamatan, sementara itu dana didukung oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Dari segi sumberdaya pengelola, harus dilakukan perekrutan dan pengoptimalan peran anggota perlindungan masyarakat desa atau kelurahan. Dari segi sarana pendukung juga disiapkan sarana telekomunikasi dan penyiapan taruna siaga bencana (Tagana).
Melalui penelitian ini juga mereka memberikan saran agar diadakannya sosialisasi dan penerapan asuransi pertanian pada daerah kerentanan tinggi, pemanfaatan informasi deteksi dini bencana banjir juga diperlukan untuk menentukan pola tanam padi sawah. Serta dilakukannya pengembangan model mitigasi risiko berbasis daya dukung wilayah untuk menanggulangi kerugian ekonomi akibat bencana di wilayah DAS.(EAW/NM)