Guru Besar IPB : Uniknya Kelelawar, Mengandung Banyak Virus tetapi Tidak Sakit

Guru Besar IPB : Uniknya Kelelawar, Mengandung Banyak Virus tetapi Tidak Sakit

guru-besar-ipb-uniknya-kelelawar-mengandung-banyak-virus-tetapi-tidak-sakit-news
Riset

Morfofisiologi disebut juga anatomi fungsional yakni ilmu dasar kedokteran hewan yang mempelajari tentang bentuk dan fungsi sistem organ tubuh serta keterkaitannya dengan proses-proses regulasi, perilaku dan lingkungannya. Kajian morfofisiologis sangat penting dalam memberi pengetahuan yang lebih lengkap dan komprehensif tentang hewan. Seperti sifatnya, perilaku, cara berkembang biak, fisiologi dan regulasi sistem organ, sampai ke mekanisme kejadian penyakit dan proses tanggap kebalnya.

Contoh aplikasi ilmu morfofisiologi dalam mendukung riset terkait penyakit menular adalah kajian pada potensi kelelawar sebagai sumber penyakit. Kelelawar merupakan reservoir (pembawa) berbagai jenis virus. Dilaporkan tidak kurang dari 200 jenis virus telah diisolasi dari kelelawar, diantaranya bersifat patogen dan menimbulkan penyakit di manusia dan hewan lainnya, misalnya Rabies, Ebola, Nipah, Hendra, Marburg, dan Japanese encephalitis (radang otak). Uniknya, walaupun mengandung banyak virus di dalam tubuhnya, kelelawar tidak menunjukkan gejala sakit. Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. drh. Srihadi Agungpriyono dalam konferensi pers pra orasi ilmiah di Kampus IPB Dramaga, Bogor (3/8).

Prof. Srihadi yang juga Dekan FKH IPB ini mengatakan, keunikan ini diduga terkait erat dengan keunikan morfofisiologi sistem kekebalan dan pertahanan alami tubuh kelelawar. Virus patogen bisa berpindah kepada sesama kelelawar, hewan lain atau manusia lewat cairan tubuh, seperi air liur, menempel pada sisa buah yang dimakan, lewat ekskreta tubuh (urin dan feses) dan lewat kontak langsung.

Selain itu, kemampuan terbang kelelawar menjangkau area yang jauh dapat membuat serangan virus menjadi semakin luas.

“Di Indonesia, data ilmiah tentang kondisi dan potensi kelelawar sebagai sumber penyakit zoonosis masih sangat kurang. Pada studi telemetri, kami memasang alat pemancar untuk memantau arah dan jarak terbang kelelawar, terpantau kelelawar pernah terbang dari Sukabumi hingga ke pulau Flores (2.250 kilometer) dalam dua hari. Yang menarik adalah di Sukabumi maupun Flores termasuk daerah endemis penyakit Rabies,” ujarnya.

Oleh karena itu, deteksi dini terhadap penyakit zoonosis sangat penting. Peran dokter hewan dan kajian morfofisiologis penting untuk menggali informasi ilmiah awal pada hewan sebagai asal sumber penyakit.

“Kami bekerjasama dengan peneliti dari Jepang melaksanakan kajian komprehensif berbasis one health, lintas bidang ilmu, memadukan kajian bidang-bidang morfofisiologi, perilaku, ekologi, epidemiologi, patologi maupun virologi pada level yang lebih molekuler hingga genom kelelawar. Tujuannya adalah untuk mempelajari potensi dan risiko serta identifikasi jenis-jenis virus pada kelelawar Indonesia,” terangnya.

Melalui kerjasama ini, IPB kini memiliki fasilitas laboratorium BSL-3 dan dosen-dosen muda yang memiliki kemampuan melakukan isolasi virus melalui sistem biakan jaringan serta identifikasi virus melalui analisis genom menggunakan peralatan mutakhir next generation sequencer.

“Dengan adanya sumberdaya manusia yang mumpuni dan fasilitas lab BSL-3 ini, IPB mampu melakukan riset pada patogen penyakit menular yang berpotensi zoonosis di Indonesia dengan metode deteksi yang mutakhir, canggih dan aman,” tandasnya.(Zul)