Guru Besar IPB : Teknologi Reproduksi Cegah Kepunahan Satwa

Guru Besar IPB : Teknologi Reproduksi Cegah Kepunahan Satwa

Prof.-Bambang-Purwantara
Riset

Satwa endemik Indonesia terus mengalami penuruan populasi di habitat alaminya. Diantaranya badak Sumatera dan orangutan terbukti memiliki kemampuan reproduksi yang rendah. Penurunan populasi diperparah dengan tingginya tingkat perburuan dan konversi hutan untuk kepentingan perkebunan dan industri. Apabila dibiarkan berkembang alamiah, diperkirakan populasi badak Sumatera di Indonesia akan menuju kepunahan.

 

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB), Prof.Dr. Bambang Purwantara, saat konferensi pers pra orasi ilmiah, di Kampus IPB Baranangsiang Bogor, Kamis (25/8). Dalam kesempatan ini ia menjelaskan beberapa teknologi reproduksi yang bisa digunakan untuk meningkatkan produksi ternak dan mencegah kepunahan satwa.

 

Menurutnya, peran teknologi reproduksi sangat penting dalam mendorong kenaikan produktivitas ternak di Indonesia. Ada tiga generasi teknologi reproduksi yang dikenal, yakni inseminasi buatan (generasi pertama), transfer embrio (generasi kedua) dan produksi embrio in vitro dan varian manipulasinya (generasi ketiga).

 

Pertama, Inseminasi Buatan (IB). IB memiliki daya dobrak yang kuat dan luas dalam penyebaran keunggulan mutu genetik ternak. Hadirnya teknologi preservasi memungkinkan semen dapat disimpan dalam bentuk cair atau beku sehingga memungkinkan untuk dapat ditransportasikan ke berbagai wilayah di dunia. Studi genom yang dihubungkan dengan fertilitas pejantan IB sekarang sedang diarahkan pada dua unsur penting yaitu PRM1 dan miRNA. Bekerjasama dengan dua Balai Inseminasi Buatan (BIB) besar di Indonesia dan koperasi sapi perah yang mulai memiliki sistem pencatatan yang baik, studi ini dapat menjadi solusi dahsyat untuk menyeleksi calon-calon pejantan unggul yang ada di BIB dan Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD).

 

Kedua, Transfer Embrio. Operasional transfer embrio tergolong mahal sehingga hanya cocok untuk pemuliabiakan bibit unggul. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, banyak hal yang harus dibangun seperti pertama, perbaikan kualitas donor sehingga panen embrio layak transfer per donor meningkat. Perbaikan kualitas resipien sehingga angka kebuntingan per transfer lebih baik. Ketiga iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri perbibitan guna mengatrol harga bibit sesuai sifat keunggulannya. Keempat, membangun industri hormon dan bahan biologi yang membuat biaya tinggi akibat semuanya serba impor.

 

Ketiga, Produksi Embrio in Vitro. Basis dari semua rekayasa sel untuk menghasilkan individu baru adalah prosedur produksi embrio in vitro (IVP) yang meliputi pematangan embrio in vitro (IVM), pembuahan embrio in vitro (IVF) dan kultur embrio in vitro (IVC).

 

Dalam kesempatan ini, Prof Bambang menjelaskan tentang sel punca yang menjadi  harapan baru. Dijelaskannya, sel punca atau stem cells adalah sel yang belum terbedakan dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel di dalam tubuh. Sel punca juga mampu memperbarui diri sehingga dapat menjadi pengganti sel-sel yang rusak. Sel punca yang ada kaitannya dengan reproduksi adalah sel punca spermatogonia (spermatogonial stem cells/SSC) dan sel punca oogonia (ooginial stem cells/OSC). Pencangkokan SSC memiliki posisi strategis karena dapat digunakan untuk memperluas peranan pejantan unggul. Diantaranya untuk memaksimalkan produksi semen untuk IB, mempertahankan produksi sperma pada pejantan yang menua atau mati. SSC juga kendaraan penting untuk mengintroduksi gen pada populasi.(zul)