Guru Besar IPB: Swasembada Kedelai Tergantung SDMnya
Tahun 2018 diperkirakan Indonesia akan kekurangan kedelai sebesar 1,5 juta ton. Luas areal tanam kedelai terbesar selama ini terjadi pada tahun 1992 sebesar 1,67 juta hektar dengan produktivitas 1.12 ton per hektar. Pada tahun 2013, luas areal tanam hanya 0.55 juta hektar dengan tingkat produktivitas 1.45 ton per hektar.
Meningkatnya kebutuhan pangan dan menyusutnya lahan subur di pulau Jawa (akibat konversi ke lahan non pertanian), maka perlu mencari lahan di luar Jawa untuk pengembangan pertanian. Luas lahan pasang surut di Indonesia sekitar 20,1 juta hektar dan sekitar 9,53 juta hektar berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan pasang surut yang mempunyai potensi tinggi untuk ditanami kedelai seluas 2,08 juta hektar sedangkan yang berpotensi sedang seluas 1,33 juta hektar.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (Faperta IPB), Prof.Dr. Munif Ghulamahdi berhasil memanfaatkan lahan pasang surut di Sumatera, Kalimantan dan Papua untuk memproduksi kedelai. Dalam paparannya saat jumpa pers pra orasi di Kampus IPB Baranangsiang Bogor, Kamis (26/5), Prof. Munif mengatakan dengan menerapkan teknologi Budidaya Jenuh Air (BJA), tim penelitian yang dipimpinnya berhasil memproduksi empat ton kedelai per hektar di lahan pasang surut.
Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah tingginya kadar pirit yang menyebabkan rendahnya pH tanah pada saat teroksidasi. Kemasaman tanah tinggi menyebabkan tingginya kelarutan unsur Fe, Al dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P, sehingga menyebabkan produktivitas kedelai hanya 800 kilogram per hektar dengan teknologi konvensional menggunakan budidaya kering (BK).
“Oleh karena itu, perlu adanya usaha penurunan kadar pirit teroksidasi melalui teknologi BJA dan penambahan hara makro. Saya prediksi terapan di petani hanya mampu menghasilkan 60 persen dari hasil riset. Maka akan keluar angka 2,4 ton per hektar,” terangnya.
Dengan hasil ini, kekurangan 1,5 juta ton tadi bisa dipenuhi dari 625 ribu hektar lahan pasang surut dan benih 312.500 ton benih yang harus disiapkan di lokasi pasang surut.
Menurutnya, untuk mewujudkan swasembada kedelai perlu adanya kawasan BJA dengan tiga syarat yakni tersedianya benih dan sarana produksi lainnya, kelembagaan dan efisiensi sarana produksi, tenaga kerja dan terjaminnya harga pasar yang baik.
Perlu kombinasi lahan kering dan pasang surut. Ketersediaan benih di lahan pasang surut perlu dilakukan dengan metode “Jabalsim” (Jalur benih antar lapang dan antar musim) dan juga dengan penyimpanan benih dalam kantong plastik atau jerigen agar mempunyai daya tumbuh tinggi di lapangan. Di setiap provinsi, benih diperbanyak pada Desember-Maret di lahan kering, dan antara Mei-Agustus di lahan pasang surut. Benih disimpan dalam kantong plastik antara September-Desember. Penanaman massal kedelai di lahan pasang surut dilakukan antara April-Agustus.
“Diantara semua petani yang kita bina, petani di Jambi yang paling cepat mengadopsi semua teknologi yang kami ajarkan. Untuk capai swasembada, titik kritisnya di sumberdaya manusia (SDM), maka harus ada kelembagaan yang kuat, baik pemerintah, kelompok tani dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Namun PPL saat ini masih lemah, harus ada sarjana pendamping,” tandasnya.(zul)