Guru Besar IPB: Profesi Pemulia Tanaman Mulai Langka
Upaya penyediaan pangan dari tahun 1825-1927 dilakukan dengan perluasan areal tanam kemudian bergeser dengan pertambahan luas tanam 40 persen dan peningkatan produktivitas 60 persen pada tahun 1928-1960. Kini dunia dihadapkan persoalan penyediaan pangan dengan luas lahan yang semakin sempit akibat bertambahnya jumlah penduduk.
Salah satu solusi yang bisa diandalkan adalah pemuliaan tanaman. Di Amerika, produksi jagung meningkat terus padahal luas lahan makin sedikit, itu efek dari pemuliaan tanaman. Jika dibandingkan 100 tahun yang lalu, saat ini produksi jagungnya bisa enam kali lipat padahal luas lahannya lebih sempit.
“Semua ini terkait dengan ilmu pemuliaan tanaman,” ujar Prof.Dr. Sobir, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam jumpa pers pra orasi di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Kamis (22/10).
“Kita sudah mentok, apa lagi yang akan kita lakukan. Dulu banyak pilihan bisa menambah luas lahan atau menggunakan varietas yang lebih unggul. Namun sekarang genetik yang kita punya tinggal sedikit tapi yang harus diberi makan makin banyak,” tambahnya.
Kondisi ini diperparah dengan langkanya pemulia tanaman. Saat ini hanya ada 300-400 orang pemulia tanaman di Indonesia. Padahal Indonesia membutuhkan 3000-4000 orang pemulia. Pemulia yang sudah adapun perlu ditingkatkan lagi kemampuannya. Hal ini dikarenakan tidak adanya program studi khusus ilmu pemuliaan.
“Profesi pemulia sekarang mulai dicari oleh perusahaan baik nasional maupun multi nasional. Posisi dan gaji yang ditawarkan bisa tiga kali lipat gaji profesor,” ujar Ketua Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI).
Dengan ilmu pemuliaan, kita bisa mengetahui secara pasti asal usul tanaman dan kualitas tanaman. Saat ini yang sudah berkembang adalah transgenik dan merubah perilaku gen (ini sudah bisa dilakukan).
Salah satu contoh adalah pengelolaan sumberdaya genetik manggis (Garcinia mangostana). Manggis karena merupakan buah segar dengan nilai ekspor paling tinggi. Terkenal karena kandungan antioksidannya tiga kali vitamin E, sehingga ada yang beriklan konsumsi manggis “make you young a ten years”.
“Yang menarik dari manggis adalah penanda genetik membuktikan jika bijinya dibelah tidak ada embrionya. Tapi ketika bijinya dipotong-potong, dari setiap potongan biji tersebut akan muncul tunas,” tuturnya.
Sejak tahun 1940 Horn mengatakan manggis adalah tanaman apomiksis dengan populasi yang seragam secara genetik (hanya ada satu varietas manggis). Penelitian Horn ini dilakukan di Malaysia.
Hasil pengamatan di lapang yang dilakukan Prof. Sobir mengatakan hal yang sebaliknya. Pengamatan di lapang menunjukkan adanya keragaman warna bunga tanaman manggis yang diperkirakan tidak dipengaruhi lingkungan. Pengujian dengan penanda DNA dilakukan Prof. Sobir untuk mengevaluasi kebenaran teori Horn.
“Pengujian dengan beberapa penanda DNA (Isoenzime, RAPD, E-RAPD, AFLD, ISSR dan SSR) menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik diantara individu manggis dari seluruh Indonesia, sehingga pendapat Horn terpatahkan. Hasil penelitian ini menandai penggunaan penanda DNA bagi pengujian varietas dan telah ditambah 13 varietas baru manggis yang dapat dibedakan dengan penanda DNA,” tuturnya.
Pengujian dengan penanda DNA yang digunakan Prof. Sobir ini juga berhasil mengoreksi pendapat Richard yang pada tahun 1990 mengatakan bahwa manggis merupakan hasil persilangan alami dari G. Malaccensis dengan G. Hombroniana. Dari hasil analisis berbagai spesies manggis, dengan 34 karakter morfologi dan anatomi, serta penanda ISSR memberikan bukti baru bahwa G. Celebica lebih dekat ke manggis daripada G. Hombroniana.
“Bentuk sel penjaga stomata manggis merupakan intermediate G. Malaccensis dan G. Celebica,” ujarnya.
Selain itu beberapa literatur mengatakan bahwa titik awal pembentukan manggis berasal dari Malaysia dengan pola penyebaran dari daerah Kerinci dan Jambi (Sumatera) lalu menyebar ke Tembilahan, Purwakarta dan Bulukumba. Penanda DNA digunakan untuk mengungkap pola perpindahan tanaman manggis. Hasil analisis populasi manggis menunjukkan bahwa pola perpindahan dari Purwakarta, lalu ke Tembilahan, baru ke Kerinci dan Bulukumba.
“Hasil tersebut memberi bukti baru bahwa manggis kemungkinan besar bukan berasal dari Malaysia melalui Sumatera, karena tetua manggis ada di Purwakarta,” ujarnya.
Riset yang dilakukan Prof. Sobir tidak hanya pada manggis. Banyak karya lainnya di bidang pemuliaan seperti pepaya, nanas, bawang merah, melon, pisang dan lain-lain. Karyanya ini membuktikan betapa pentingnya ilmu pemuliaan. Oleh karena itu, Prof. Sobir yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB ini sedang mengusulkan dibangkitkannya kembali program studi profesi pemuliaan. (zul)