Guru Besar IPB: Pakan Masa Depan Berbasis Serangga
Pakan serangga berpotensi menjadi pilihan peternak masa depan karena kandungan proteinnya yang tinggi dan sebanding dengan Meat Bone Meal (MBM). Hal ini disampaikan Prof.Dr. Nahrowi, Guru Besar Tetap Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam konferensi pers pra orasi di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Kamis (22/10). Materi orasi yang akan dibacakannya Sabtu (24/10) esok berjudul “Pakan Potensial Masa Depan dalam Mendukung Sistem Peternakan Tropika Modern Berkelanjutan dan Berdayasaing Tinggi”.
Pakan merupakan hal paling penting untuk dibenahi sebelum menyiapkan bibit. Setidaknya ada dua alasan untuk ini, yakni biaya terbesar dari usaha bisnis peternakan (sekitar 70-85 persen) berasal dari pakan, dan ternak mengekspresikan performanya sesuai dengan potensi genetiknya jika mendaat pakan sesuai dengan kebutuhannya.
“Pada tahun 2014 tidak kurang dari 46 triliun rupiah devisa negara setiap tahun terkurang ke luar negeri akibat impor bahan pakan,” ujarnya.
Bahan pakan masa depan yang akan dipakai untuk mendukung sistem dan model peternakan tropikal modern adalah bahan pakan lokal yang mempunyai densitas nutrien tinggi, aman dan ramah lingkungan, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, dan merupakan pakan fungsional yang efektif dan efisien dalam pemanfaatannya. Bahan pakan potensial yang akan berkembang di Indonesia adalah ulat hongkong, hijauan asal lautan, konsentrat protein dari bungkil inti sawit, tepung crude palm oli, dan singkong.
“Ulat Hongkong bisa menjadi sumber protein pengganti MBM dan tepung ikan karena hingga sampai saat ini kita belum bisa produksi tepung ikan. Ulat Hongkong sudah digunakan di hewan peliharaan. Ke depan pasti akan ada industri Ulat Hongkong skala besar. Ulat Hongkong mengandung asam lemak yang sangat baik dan punya kandungan kitin (pakan aditif), proteinnya juga tinggi. Nilai proteinnya sebanding dengan MBM, kalau saya ekstrak proteinnya bisa mencapai 55-60 persen. Tapi sebelum diekstrak kandungan proteinnya hanya 45 persen,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama Prof. Nahrowi menyayangkan ekspor bungkil inti kelapa sawit ke luar negeri karena manfaatnya yang besar jika dilihat dari potensinya untuk pakan ternak. Untuk ruminansia memang sudah dimanfaatkan tapi untuk unggas, ikan dan babi masih kecil persentase pemanfaatannya. Bungkil inti kelapa sawit ini tidak hanya untuk pakan tapi bisa digunakan sebagai pakan fungsional karena kandungan Mannan-nya tinggi. Mannan terbukti mampu menghambat bakteri phatogen saluran pencernaan, dapat menurunkan kasus pullorum, dan dapat meningkatkan kekebalan pada ayam broiler, layer (ayam petelur), dan bebek dari serangan Avian Influenza. Kinerjanya sebanding dengan antibiotik growth promotor.
“Kita rajanya produsen sawit. Sekarang bungkil ini kita ekspor padahal rugi kalau diekspor. Di Amerika, untuk menghasilkan mannan mereka memanfaatkan ragi, sedangkan mannan bisa dihasilkan dari bungkil kelapa sawit. Untuk singkong nanti akan ada grade, mana grade untuk manusia dan mana untuk ternak. Kenapa singkong karena budidayanya mudah, kelembagaannya lebih baik ketimbang jagung,” terangnya.
Upaya untuk menghasilkan pakan masa depan terus dilakukan Prof. Nahrowi. Diantaranya dengan mengembangkan silase. Tidak hanya untuk hijauan tapi bisa untuk bahan pakan yang lain. Silase adalah teknologi fermentasi an-aerob untuk menghasilkan tidak hanya produk pakan yang awet disimpan tetapi juga produk asam organik dan atau produk bakteri asam laktat sebagai pakan aditif.
Produk pakan aditif dari kajian Prof. Nahrowi mampu memacu pertumbuhan broiler, serta mampu mencegah kasus mencret pada pedet sapi perah (kinerjanya sebanding dengan antibiotik). Kajian ini sudah dipatenkan.
Untuk sistem peternakan ke depan, Prof. Nahrowi memprediksi ada dua sistem peternakan yang akan berkembang, yaitu sistem peternakan intensif yang terpusat di sentra produksi peternakan dan sistem peternakan semi intensif yang terintegrasi dengan perkebunan. Peternakan semi intensif yang terintergasi dengan perkebunan bisa produksi minyak sawit organik dan ternak organik.
“Untuk perbanyakan ternak itu tidak cocok menggunakan sistem intensif terutama ternak ruminansia. Jangan dipelihara terkurung, pasti rugi. Sapi bunting hingga beranak butuh 227 hari dengan biaya pakan 5,4 juta rupiah. Sedangkan harga anak 3-4 juta rupiah. Peternak kecil tidak hitung untung rugi, mereka hanya berpikir ternak sebagai tabungan. Untuk perbanyak ternak sebaiknya dipelihara semi intensif,” terangnya.
Sistem peternakan semi intensif akan berorientasi pada produksi bibit dan perbanyakan ternak (khususnya ruminansia). Sistem ini diprediksikan lebih efisien dan memberikan keuntungan ganda yaitu ternak dan produk sampingnya (daun dan buah) dari pola integrasi ternak -perkebunan/pertanian.(zul)