Guru Besar IPB Jawab Masalah Gizi di Indonesia Melalui Inovasi Murbei dan Lele

Guru Besar IPB Jawab Masalah Gizi di Indonesia Melalui Inovasi Murbei dan Lele

guru-besar-ipb-jawab-masalah-gizi-di-indonesia-melalui-inovasi-murbei-dan-lele-news
Prestasi

Kesehatan bukanlah sebuah kondisi yang statis pada diri manusia, tetapi sehat adalah proses yang dinamis, progresif, dan kontinu. Hal tersebutlah yang menjadikan kegiatan sehari-hari manusia berpengaruh terhadap kondisi tubuhnya termasuk bagaimana pola makan dan kualitas asupan gizi yang diterima. Nampaknya Indonesia masih memiliki beragam masalah gizi yang mempengaruhi kondisi kesehatan dan kualitas sumber daya manusia.

Beberapa masalah gizi yang ditemui di Indonesia ialah kurang energi protein, kurang vitamin A, anemia gizi besi, gizi lebih, dan kurang iodium. Masalah gizi yang terjadi pada masa pertumbuhan dapat berdampak pada kognitif, imunitas, produktivitas kerja, hingga memicu berbagai penyakit. Masalah gizi tersebut merupakan dampak dari salahnya pola gizi yang dilatarbelakangi oleh lemahnya ekonomi maupun pengetahuan yang salah tentang gizi. Padahal Indonesia memiliki banyak bahan alam sekitar yang kaya gizi dan dapat dikelola dan murah.

Pernahkah anda menyangka pupa ulat sutera memiliki kandungan kaya gizi dan dapat dijadikan pangan? Guru Besar Gizi Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. drh. Clara Meliyanti Koesharto, MSc mengembangkan pangan yang mengeksplorasi alternatif pangan terbarukan berbasis sumber daya lokal sebagai usaha intervensi gizi. Pupa yang dibuat menjadi tepung bahan pangan itu diberi label sebagai Pury dan telah mendapat paten. Usaha ini disambut baik oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen sutera terbesar di Indonesia. Selama ini pupa ulat sutera tidak dimanfaatkan dan hanya menjadi limbah dalam industri kain sutera.

Langkah intervensi gizi yang dilakukan Prof. Clara tersebut bukanlah kegiatan baru, selain melirik sumber protein ia juga telah mengembangkan teh dari daun murbei, sari buah murbei, dan klorofil dari daun murbei. Yang menjadi titik fokus dari riset ini adalah manfaat yang dapat diambil dari bahan-bahan lokal sekitar masyarakat sebagai sarana perbaikan kualitas gizi dan kualitas kesehatan masyarakat.

“Masih banyak potensi yang dapat dieksplorasi dari kegiatan pengembangan ulat sutera ini” ujarnya.

Sumber pangan lain yang diangkat oleh Prof. Clara yaitu ikan lele. Ikan lele (Clarias gariepinus) pada ukuran tertentu tidak disukai untuk dikonsumsi sehingga tidak terjual, padahal nilai gizi ikan lele masih sama. Melihat peluang tersebut, ia mengembangkan juga tepung lele untuk dijadikan biskuit lele padat gizi sebagai pemberian makanan tambahan (PMT) bagi balita. Ternyata dari pengolahan biskuit lele yang dipasarkan dengan nama “Biskuit Clarias” tersebut didapatkan minyak ikan lele yang mengandung Omega 3 dan asam amino yang baik bagi kesehatan manusia. Pengembangan minyak ikan ini diteruskan ke ranah bisnis dalam produksinya sebagai langkah strategis intervensi gizi masyarakat dan pengembangan pangan terbarukan.

“Saya berharap sumber daya alam lokal Indonesia dapat ditangkap sebagai potensi yang belum termanfaatkan dengan maksimal. Dalam menghadapi tantangan krisis pangan global dan penanganan masalah gizi nasional diperlukan integrasi, koordinasi, dan komunikasi dari berbagai pihak. Sehingga penanganan masalah gizi mulai dari janin dalam kandungan hingga usia lanjut dapat diatasi dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia.(ESKA/Zul)