Departemen MSP IPB University Gelar Webinar Pengelolaan Perikanan Demersal dan Rajungan Berkelanjutan
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University menyelenggarakan webinar series dengan tema ‘Potret Pengelolaan Perikanan Demersal dan Krustasea Berkelanjutan’, (15/6). Acara ini terselenggara berkat dukungan Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) dan Asosiasi Demersal Indonesia (ADI).
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian acara menuju puncak kegiatan International Seminar on Demersal and Crustacean Fisheries Management (ISDCFM 2023) yang akan diselenggarakan pada tanggal 2-3 Agustus mendatang. Kegiatan ini dihadiri oleh 140 orang peserta dari berbagai institusi pemerintah, universitas dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
“Kegiatan ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan masyarakat mengenai potensi dan permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan perikanan demersal dan krustasea di Indonesia,” ujar Prof Hefni Effendi selaku Ketua Departemen MSP IPB University dalam sambutan.
Selain itu, upaya pengelolaan perikanan demersal dan krustasea berkelanjutan sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) poin 14 (life below water), yaitu melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudra untuk pembangunan berkelanjutan.
Dalam kesempatan sama, Dekan FPIK IPB University, Prof Fredinan Yulianda menyampaikan bahwa potensi perikanan di Indonesia sangat besar dan perlu dipetakan, sehingga peluang ini mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dr Mohammad Mukhlis Kamal selaku Ketua ISDCFM 2023 sekaligus moderator dalam webinar ini mengatakan, pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia saat ini dihadapkan dengan tantangan dan paradigma baru yang tidak hanya sebatas single species dan ekologi, melainkan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM).
“Oleh karena itu, pada kegiatan ini lebih ditekankan kepada hasil riset perikanan demersal dan krustasea, database dan pengolahan data perikanan, khususnya setelah terjadinya restrukturisasi pelaksanaan riset di Indonesia yang sebelumnya dilaksanakan oleh masing-masing kementerian/lembaga menjadi dilebur dalam BRIN,” tuturnya.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Ernawati, SPi, MSi dalam pemaparannya menjelaskan, penyediaan data dan informasi stok sumber daya perikanan di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020 hingga tahun 2024.
“Namun demikian, pendataan yang dilakukan terhenti sejak tahun 2022 atau semenjak seluruh riset yang terdapat di kementerian/lembaga dilebur ke dalam BRIN. Hal ini cukup meresahkan mengingat penyediaan data dan informasi stok perlu dilakukan secara terus menerus dan bersifat continue,” paparnya.
Agus Alim Hakim, SPi, MSi yang merupakan PhD Student of University of Ryukyus mengulas aplikasi biomolekuler dalam penentuan stok demersal dan krustasea di Indonesia. Agus menjelaskan bahwa identifikasi spesies secara molekuler merupakan hal yang penting dilakukan sebelum melaksanakan pengkajian stok ikan. Hal ini karena prasyarat utama dalam melakukan identifikasi mengenai stok perikanan adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda.
“Identifikasi spesies secara molekuler dapat menjawab fenomena adanya cryptic species dan complex species, yaitu adanya dua atau lebih spesies yang berbeda, tetapi diklasifikasikan dalam satu nama spesies yang sama atau sebaliknya. Semoga penelitian biomolekuler semakin berkembang mengingat demersal dan krustasea merupakan kelompok hewan yang mampu berpindah lintas WPP, sehingga memungkinkan terjadinya kawin silang antara demersal atau krustasea di satu WPP dengan WPP yang lain,” terangnya.
Narasumber lainnya, Dr Irfan Yulianto dari Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI), Yayasan Rekam Nusantara memaparkan hasil riset mengenai pendataan kakap dan kerapu di Indonesia dengan menekankan kepada pentingnya pendataan perikanan yang baik. Data yang baik dapat menghasilkan rekomendasi yang baik, begitu pula sebaliknya.
“Kami telah mengembangkan inisiatif perolehan data perikanan berbasis citizen-science yang disebut dengan IKAN atau Fisheries Data Collaboration Initiative. Data perikanan tersebut dapat diakses oleh publik, serta terbuka peluang kerja sama dengan pemerintah dan akademisi untuk melakukan riset maupun publikasi ilmiah,” urainya.
Guru Besar FPIK IPB University, Prof Sulistiono memaparkan hasil riset kepiting bakau di berbagai wilayah di Indonesia, di mana musim pemijahan dan ukuran dewasa (matang gonad) kepiting bakau bervariasi. Ia juga mencermati aturan tangkap kepiting bakau dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 16 Tahun 2022.
“Ukuran karapas 12 cm diberlakukan bagi seluruh spesies kepiting bakau, padahal ukuran dewasa masing-masing spesies berbeda. Riset dan data ekobiologi ini sangat penting dijadikan acuan dasar dalam pembuatan kebijakan perikanan,” sebutnya. (*/Rz)