Bencana Pohon Tumbang Terjadi Tiap Tahun Akibat Tidak Ada Early Warning Sistem

Bencana Pohon Tumbang Terjadi Tiap Tahun Akibat Tidak Ada Early Warning Sistem

Berita

Kota Bogor idealnya memiliki stasiun iklim di setiap arah mata angin, mengingat Bogor berada dekat dengan pegunungan yang mengakibatkan hujan dan angin yang sifatnya downburst (turun dengan tekanan yang tinggi). Selain itu, Bogor merupakan satu-satunya wilayah di Jawa Barat yang tidak masuk dalam Daerah Perkiraan Musim (DPM) pada Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jawa Barat, sehingga sulit terdeteksi.

Pakar Agroklimatologi Institut Pertanian Bogor (IPB), yang juga Dekan FMIPA, Dr. Yonni Koesmaryono, MS. mengemukakan hal itu saat diskusi dengan wartawan mengenai bencana tumbangnya ratusan pohon koleksi Kebun Raya Bogor (KRB) dan sejumlah pohon di ruas-ruas jalan Kota Bogor yang terjadi Kamis (1/6) lalu.

Dikatakan, saat ini sebenarnya di Kota Bogor terdapat lima stasiun iklim, masing-masing berada di IPB Baranangsiang, Muara, Cikarawang, Cimanggu dan Kebun Raya Bogor. Namun, kelima stasiun tersebut dalam kondisi rusak. Stasiun iklim yang berada di IPB Baranangsiang misalnya, yang berfungsi hanya manualnya saja sehingga tidak berfungsi secara maksimal.

Padahal, kata Yonni, keberadaan stasiun tersebut diperlukan sebagai early warning sistem (sistem peringatan dini). Apalagi menurutnya, kejadian serupa (meski dengan intensitas berbeda) terjadi hampir setiap tahun dan dalam waktu yang hampir sama yakni sekitar Bulan Mei atau Bulan juni.

Karenanya, harus ada kemauan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk mengalokasikan dana guna menyediakan peralatan yang dibutuhkan dan sumberdaya manusia (SDM) yang mendukung keberadaan early warning sistem. Pasalnya, untuk memperbaiki satu stasiun iklim yang rusak atau membangun satu automatic weather station dibutuhkan sekitar Rp 15-20 juta.

Akibat dari tidak adanya stasiun iklim ini, jelas Yonni, Pemkot dan lembaga lainnya nyaris tidak memiliki data historis perihal bencana yang telah terjadi.

Yonni menuturkan, Kota Bogor bisa mencontoh negara Jepang atau Jerman yang memiliki jaringan automatic weather station. “Di negara tersebut, pemerintahnya sudah memberikan peringatan dari jauh-jauh hari, jika ternyata dari pengamatan ada indikasi akan adanya bencana. Kalau ternyata salah karena terjadi perubahan cuaca, bukanlah suatu masalah. Karena yang penting sudah memberikan peringatan sejak dini, sehingga masyarakat bisa mengantisipasi sejak awal,” ungkap Yonni.

Selain itu, Yonni menyoroti masih lemahnya tanggap darurat pasca gempa yang dimiliki pemerintah setempat. “Contohnya saat harus menyingkirkan satu pohon yang menghalangi Jln. Pajajaran, petugas yang menangani ternyata membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga terjadi kemacetan dan pengalihan arus lalu lintas. Karena itu harus ada pembenahan manajemen pasca gempa,” tandas Yonni yang berbicara di ruang prohumasi IPB, Jumat (9/6).

Sementara itu, Yonni mengimbau agar LIPPI selaku pengelola KRB lebih intensif
lagi dalam melakukan perawatan tanaman. “Mana yang harus dipangkas atau tidak diatur dalam mekanisme monitoring. Saya tidak tahu apakah LIPPI sudah menerapkan hal tersebut atau belum,” ujarnya.

Saat ditanya kesediaan IPB selaku institusi keilmuan dalam membantu manajemen pasca gempa di Kota Bogor, dengan tegas Yonni menyatakan kesiapannya. “IPB siap jika diajak untuk kerjasama,” imbuhnya. (NM)