IPB Risau dengan Isu Konversi Kawasan Puncak
Isu perubahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di daerah Puncak Kabupaten Bogor yang telah ditetapkan dalam Perda tahun 2008 membuat Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Fakultas Kehutanan yang bekerjasama dengan Program Studi Lingkungan Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor dan Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropis mengundang pihak terkait untuk melakukan diskusi kelompok terbatas dalam diskusi bertajuk “Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak” di Aula Silva Pertamina, Kampus IPB Darmaga (4/10).
“IPB merasa berdosa jika isu itu benar terjadi, maka kami merasa perlu untuk duduk bersama dengan institusi terkait seperti Pemerintah Kabupaten Bogor, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Badan Pertanahan Nasional, BAPPEDA Kab Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Kepala Biro Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah I, Perum Perhutani, Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB, Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropis Fakultas Kehutanan IPB dan pihak terkait lainnya untuk mencari kejelasan permasalahannya,” ujar Prof. Dr.Ir. Bambang Hero Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan IPB.
Jika benar terjadi perubahan peruntukan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya seperti yang diramaikan oleh media massa beberapa bulan belakangan ini maka IPB khawatir akan menimbulkan bencana yang lebih fatal. “Jangan sampai terjadi lagi episode kedua dari bencana yang terjadi di daerah Mandalawangi Garut beberapa tahun lalu adalah akibat dari konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya yang meminta korban manusia, “terang Prof. Bambang.
Menurutnya, setelah berdiskusi setengah hari tersimpulkan bahwa yang terjadi adalah tidak benar akan dilakukan konversi dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Tetapi baru akan melakukan kajian ulang terhadap Perda No 19 tahun 2008, karena menurut Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang tata ruang maka dimungkinkan untuk melakukan peninjauan kembali 1 kali dalam 5 tahun dalam rangka revisi. Revisi dalam rangka peninjauan kembali RTRW dapat direkomendasikan bila terjadi perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi penataan ruang wilayah kabupaten dan atau terdapat dinamika pembangunan kabupaten yang menuntut perlunya dilakukan revisi rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka semua pihak termasuk pemerintah daerah terkait harus mematuhi ketentuan Perpres 54/2008 dalam hal pemanfaatan ruang dan rencana peninjauan kembali/revisi RTRW pada kawasan Jabodetabekpunjur.
Pemda Kabupaten Bogor sedang melakukan kajian untuk merevisi Perda RTRW Bogor No.19 tahun 2008 untuk melakukan penyesuaian peruntukan kawasan lindung dengan Perda RTRW Jabar No. 22 tahun 2010 (persetujuan substansi Menteri PU No.HK.01.03-Mn/632 tanggal 17 Nov. 2009), namun penetapan kawasan lindung dalam Perda Jabar tersebut mengacu pada peta Hutan negara berdasarkan Surat Menteri Kehutanan No.S.276/Menhut.VII/2010 berupa Peta penunjukan Hutan Provinsi Jawa Barat yang diperbaharui dengan basis peta dasar tematik kehutanan (PDTK). Peta penunjukan Hutan Provinsi Jawa Barat tersebut berbeda dengan peta kawasan lindung dalam PerPres 54/2008. Untuk itu bila akan dilakukan peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang maka status kawasan puncak harus mengacu pada PerPres 54/2008, artinya kajian dan revisi Perda RTRW Bogor no.19 tahun 2008 harus mengacu pada Perpres 54/2008 tersebut. Selain itu revisi Perda RTRW Bogor tersebut harus mengacu pada ketentuan UU No.26/2007 dan PP 15/2010 yang menyatakan bahwa revisi
RTRW Kabupaten dapat dilaksanakan sesuai kriteria tertentu dan sebelumnya dilakukan peninjauan kembali (review) RTRW.
Berdasarkan Perda RTRW Bogor 19/2008, peruntukan ruang untuk kawasan lindung adalah seluas kurang lebih 133.000 ha (44,7 % dari luas wilyah kabupaten Bogor) dengan rincian hutan konservasi 14,24 %; hutan lindung 2,93 % dan kawasan lindung lainnya di luar kawasan hutan 27,5 %. Perda RTRW Bogor no.19/2008 tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No.54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur, sementara Peta penunjukan hutan provinsi Jawa Barat berbeda dengan peta kawasan lindung dalam PerPres 54/2008. Inilah hal yang ramai dibicarakan, sebab dalam Perda RTRW Bogor No.19/2008 terdapat kawasan lindung namun pada Perda RTRW Jabar no.22/2010 tidak terdapat kawasan lindung namun terdapat kawasan budidaya berupa hutan produksi terbatas sesuai Surat Menteri Kehutanan no. S.276 tahun 2010 yang tidak sesuai PerPres no.54 tahun 2008 yang seharusnya menjad acuan.
Di satu sisi Perda RTRW Bogor no.19/2008 akan disesuaikan dengan Perda RTRW Jabar No.22/2010 namun Perda RTRW Jabar tersebut tidak sesuai dengan Perpres No.54/2008 khususnya tentang kawasan lindung, sehingga muncullah kontroversi bahwa kawasan lindung yang ada di dalam Perda RTRW Bogor no.19/2008 namun dalam Perda RTRW Jabar no.22/2010 merupakan kawasan budidaya ,” terangnya.(zul)