Liberalisasi Pertanian Rugikan Petani
Liberasasi pertanian yang dicanangkan World Trade Organization (WTO) dianggap merugikan petani-petani di negara berkembang. "Kebijakan pasar bebas WTO menguntungkan perusahaan-perusahaan besar asing dan merugikan petani-petani negara perkembang yang kurang bisa bersaing," kata Ketua Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Henry Saragih dalam Talkshow "Kedaulatan Pangan Menyelamatkan Kedaulatan Bangsa" Selasa (1/5) di Auditorium Rektorat Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga. Talkshow ini terselenggara berkat kerjasama Forum Wacana Sekolah Pasca Sarjana IPB dan FSPI.
Menurut Henry, ada kepentingan tersembunyi dari negara-negara besar yang terlibat dalam WTO. "Perundingan-perundingan di WTO sangat didominasi Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa dan Kanada. Bahkan negara-negara tersebut mempunyai ruang tersendiri untuk menekan negara lain agar mengikuti kesepakatan yang dirancangnya. Wahana itu dinamakan green room,"urai Henry. Koordinator La Via Campesina ini menambahkan kebijakan WTO tersebut banyak ditentang petani-petani, oleh karenanya, negara-negara besar yang tergabung dalam organisasi ini sekarang lebih memilih jalur bilateral.
Produk pertanian dari petani-petani di negara berkembang kalah bersaing dengan komoditi pertanian impor dari luar negeri. Hal ini karena teknologi, luas lahan dan modal yang dimiliki petani tersebut rendah. Setiap negara yang menjadi anggota WTO, menandatangani kepakatan untuk menghapuskan subsidi di bidang pertanian, tarif impor dan membuka pasarnya secara bebas. Di Indonesia petani gurem rata-rata memiliki lahan 0.5 hektar. Ironisnya, lahan milik negara dan perusahaan swasta di sekitar tempat petani tinggal tersebut, banyak dibiarkan menganggur. Berbeda dengan petani Brazil. Rata-rata petani di sana diberi lahan oleh negara seluas 20 hektar dengan rincian pengelolaan 5 hektar untuk tanaman pangan, 5 hektar untuk tanaman tahunan, 5 hektar untuk peternakan, dan 5 hektar untuk tanaman industri.
Petani asal Wonosobo, Sumeri, mengisahkan kondisi petani dan pemuda desa di beberapa tempat yang pernah ia kunjungi sangat memprihatinkan. "Para pemuda di desa-desa yang saya kunjungi, mereka merasa tak punya bayangan masa depan. Mereka putus asa menatap masa depan. Bisakah membangun rumah, sekolah dan menikah nanti," kisah pemuda yang lulus Kejar Paket C setahun silam dengan nada sedih. Lulusan sarjana mungkin masih memiliki harapan masa depan, minimal dalam pikiran. Mereka, pemuda desa, jangankan realita, dalam pikiran pun mereka tak punya bayangan masa depan sama sekali. Sumeri telah berusaha keras membebaskan 5 ribu hektar sawah mati milik negara menjadi lahan yang bisa dikelola masyarakat desa. Dengan lahan tersebut, petani bisa mengupayakan kedaulatan pangan sendiri dan menimalisasi impor produk pertanian.
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Sekolah PascaSarjana IPB, Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodipuro, MS menjelaskan peranan perguruan tinggi khususnya IPB senantiasa berusaha memperjuangkan nasib petani dengan mendidik lulusan-lulusan pertanian. "IPB selama ini telah berusaha membuat konsep politik pertanian yang memajukan pertanian Indonesia. Ketika konsep ini diajukan kepada pemerintah, kembali dimentahkan kelompok-kelompok opportunis," ungkapnya.
Talkhow yang didahului pemutaran film perjuangan petani menolak WTO ini dibuka Ketua Forum Wacana Sekolah Pascasarjana IPB, Ir. Nirwansyah, MP dan Dekan Pascasarjana, , Prof.Dr.Ir.Chairil Notodipuro, MS (ris)